Senin, 08 Oktober 2012

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Keutamaannya dalam Ilmu Tafsir

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang nama lengkapnya adalah Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah bin Al-Khadhir Al-Harrani Ad-Dimasyqi, adalah seorang alim yang tidak ditemukan seorangpun di zamannya yang setara dengan beliau dalam berbagai hal. Baik dalam hal ilmu, lurusnya aqidah, semangat dalam beramal dan ketekunan dalam beribadah, maupun kesabaran dalam menghadapi berbagai cobaan yang menimpanya. Sosok beliau adalah salah satu di antara tokoh yang merupakan pembenaran terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajadah: 24)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata menjelaskan ayat ini: “Maka kesabaran dan keyakinan, dengan keduanya akan tercapai kepemimpinan dalam agama.” (Majmu’ Al-Fatawa, 3/358)
Keilmuan Beliau
Secara umum, beliau memiliki kelebihan dalam berbagai cabang ilmu. Hal ini dipersaksikan oleh murid-muridnya dan orang yang pernah bertemu dengannya. Di antara yang mempersaksikannya adalah Al-‘Allamah Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullahu. Beliau berkata:
“Tatkala aku berkumpul dengan Ibnu Taimiyah, aku melihat seorang lelaki yang semua ilmu ada di hadapan matanya. Dia mengambil apa saja yang dia inginkan dan meninggalkan apa saja yang dia inginkan.”
Demikian pula yang dikatakan oleh Al-‘Allamah Kamaluddin Ibnu Az-Zamlakani rahimahullahu:
“Adalah beliau jika ditanya tentang satu cabang ilmu, orang yang melihat dan mendengarnya menyangka bahwa beliau tidak mengerti kecuali ilmu tersebut –karena sangat menguasai ilmu tersebut, red.–. Orang yang melihat juga menyimpulkan bahwa tidak seorangpun yang memiliki ilmu seperti dia. Jika para fuqaha dari berbagai mazhab duduk bersama beliau, mereka mendapatkan faedah tentang mazhab mereka dari beliau yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Tidak pula diketahui bahwa jika beliau berdebat dengan seseorang lalu hujjah beliau terputus (kehabisan dalil, red.). Tidaklah beliau berbicara tentang satu cabang ilmu, baik yang menyangkut ilmu syar’i atau yang lainnya, melainkan beliau mengalahkan orang yang takhassus (spesialisasinya, red.) dalam ilmu tersebut serta yang menisbahkan dirinya kepada ilmu tersebut. Beliau memiliki andil besar dalam membuat karya tulis yang bagus, ungkapan yang indah, sistematis, pembagian (pengklasifikasian), dan penjelasan.” (Al-‘Uqud Ad-Durriyyah, 23-24)
Jamaluddin Abul Hajjaj Al-Mizzi rahimahullahu berkata:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَعْلَمَ بِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ وَلَا أَتْبَعَ لَهُمَا مِنْهُ
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih berilmu akan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta lebih semangat dalam mengikuti keduanya daripada beliau (Ibnu Taimiyah, pen.).” (Al-‘Uqud Ad- Durriyyah, Ibnu Abdil Hadi, hal. 23)
Kelebihan Beliau dalam Ilmu Tafsir
‘Umar Al-Bazzar berkata dalam kitabnya Al-A’lam Al-’Aliyyah Fi Manaqib Ibni Taimiyah: “Adapun kelebihan ilmunya, di antaranya adalah pengetahuan beliau akan ilmu Al-Qur`an yang mulia, kemampuan menggali faedah yang terkandung di dalamnya, penukilannya atas ucapan para ulama dalam penafsirannya serta menyebutkan penguat-penguatnya dengan dalil-dalil, dan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan berupa keajaiban-keajaiban-Nya dan berbagai hikmah-Nya, kefasihan, kepandaian, yang beliau capai dan puncak ilmu yang beliau bersandar kepadanya.
Jika dibacakan di majelis beliau beberapa ayat dari Al-Qur’an Al-‘Azhim, maka beliau mulai penafsirannya hingga majelis selesai dan pelajaran berakhir dalam keadaan beliau baru menafsirkan sebagian ayat. Adalah majelis beliau berlangsung selama seperempat siang hari. Beliau melakukan hal tersebut secara spontan tanpa ada seorang pembaca ditunjuk untuk membacakan kepadanya sesuatu yang telah ditentukan, yang telah beliau persiapkan penafsirannya di malam hari. Namun orang yang hadir membaca apa yang mudah baginya lalu beliaupun mulai menafsirkannya. Biasanya, beliau tidak menghentikan pembicaraannya melainkan orang-orang yang hadir memahami bahwa kalaulah bukan karena waktu pelajaran telah selesai, tentu beliau akan menyebutkan hal-hal lain yang menjelaskan penafsiran makna yang terkandung di dalamnya. Namun beliau menghentikannya karena melihat kemaslahatan para hadirin. Sungguh beliau telah membacakan tafsir قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ yang termuat dalam satu jilid besar. Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى yang termuat dalam sekitar 35 lembar kertas. Telah sampai berita kepadaku bahwa beliau memulai mengumpulkan tafsir, sekiranya beliau menyelesaikannya, tentu akan mencapai 50 jilid.” (Al-A’lam Al-’Aliyyah Fi Manaqib Ibni Taimiyah, hal. 2-3, dari Al-Maktabah Asy-Syamilah)
Asy-Syaikh ‘Alamuddin Al-Barzali berkata dalam Mu’jam Syuyuukhihi: “Beliau seorang imam yang telah disepakati keutamaan, kepandaian dan kebenaran agamanya. Dia membaca fiqih dan menjadi pakarnya. Demikian pula ilmu bahasa arab dan ushul. Beliau mahir pula dalam dua cabang ilmu: ilmu tafsir dan hadits. Beliau adalah seorang imam yang tidak terlampaui dalam segala sesuatu. Ia telah mencapai kedudukan mujtahid dan telah terkumpul pada diri beliau syarat-syarat mujtahid. Jika beliau menyebut tafsir maka yang lain terdiam disebabkan banyaknya hafalan beliau dan bagusnya dalam menyampaikan. Dan beliau meletakkan setiap ucapan pada tempatnya yang sesuai dalam men-tarjih, melemahkan, atau membatalkan.” (Al-’Uqud Ad-Durriyyah, hal. 28-29)
Beberapa Faedah Beliau dalam Ilmu Tafsir
Tatkala beliau menjelaskan tentang keutamaan merujuk kepada tafsir salafush shalih dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tabi’in, disebabkan karena zaman mereka merupakan zaman di mana kaum muslimin bersatu dan sedikit perselisihan di antara mereka, beliau berkata:
“Oleh karena itu, perselisihan di kalangan para sahabat dalam penafsiran Al-Qur`an sangat sedikit. Meskipun di kalangan tabi’in lebih banyak perselisihan dibanding para sahabat, namun mereka (tabi’in) lebih sedikit jika dibandingkan pada zaman setelah mereka. Setiap kali terdapat zaman tersebut lebih mulia, maka persatuan, kesepakatan, ilmu, dan kejelasan lebih banyak. Di kalangan tabi’in ada yang mengambil semua penafsiran dari para sahabat, seperti yang dikatakan oleh Mujahid rahimahullahu: ‘Aku membacakan mushaf kepada Ibnu ‘Abbas c, aku menghentikannya pada setiap ayat dan aku bertanya tentangnya.’
Oleh karena itu, Ats-Tsauri rahimahullahu berkata: ‘Jika datang kepadamu tafsir dari Mujahid, maka cukupkanlah dengannya.’ Oleh karena itu, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Bukhari, dan selainnya dari kalangan para ulama rahimahumullah merujuk pada penafsirannya. Demikian pula Al-Imam Ahmad rahimahullahu dan yang lainnya dari kalangan penulis tafsir, sering menyebutkan jalur riwayat dari Mujahid rahimahullahu lebih banyak dari yang lain.” (Syarah Muqaddimah Fi Ushul Tafsir, hal. 25-26)
Beliau juga menjelaskan bahwa sebab-sebab munculnya banyak penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an adalah karena penyimpangan dari tafsir yang telah dijelaskan oleh para ulama salafush shalih, dan bermunculannya kelompok ahli bid’ah yang kemudian menafsirkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan hawa nafsunya. Beliau berkata:
“Secara umum, barangsiapa berpaling dari mazhab para sahabat dan tabi’in serta penafsiran mereka, kepada sesuatu yang menyelisihi mereka, maka dia telah terjatuh dalam kesalahan, bahkan dia telah berbuat bid’ah. Adapun jika dia seorang mujtahid, maka diampuni kesalahannya.
Maka yang dimaukan adalah menjelaskan jalan-jalan ilmu, dalil-dalilnya, dan jalan-jalan kebenaran. Kita telah mengetahui bahwa Al-Qur’an telah dibaca oleh para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Dan mereka lebih mengetahui tentang penafsiran serta makna-maknanya. Sebagaimana mereka adalah orang yang paling mengetahui tentang kebenaran yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala utus Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang menyelisihi ucapan mereka dan menafsirkan Al-Qur`an namun menyelisihi penafsiran mereka, maka sungguh dia telah keliru dalam penempatan dalil dan pemahaman.”
Lalu beliau berkata: “Yang diinginkan di sini adalah memberikan peringatan atas munculnya perselisihan dalam penafsiran. Dan bahwa di antara sebab terbesar terjadinya hal tersebut adalah bid’ah-bid’ah yang batil, yang menyeru para pelakunya untuk mengubah ayat-ayat tersebut dari tempatnya, dan menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan selain apa yang dimaukan, serta menakwilkannya bukan pada takwil yang sebenarnya.” (Syarah Muqaddimah Ushul At-Tafsir hal. 125-126)
Demikian pula tatkala beliau menjelaskan tentang kondisi kitab-kitab tafsir yang ada. Beliau mengatakan: “Adapun kitab-kitab tafsir yang ada di tangan manusia, maka yang paling shahih adalah tafsir Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Dia menyebutkan ucapan-ucapan salaf dengan sanad-sanad yang tsabit dan tidak terdapat padanya bid’ah. Dia tidaklah menukil dari orang-orang yang tertuduh (berdusta) seperti Muqatil bin Bukair dan Al-Kalbi. Adapun tafsir-tafsir yang tidak menyebutkan riwayat-riwayat dengan sanad amat banyak, seperti tafsir Abdurrazzaq, ‘Abd bin Humaid, Waki’, Ibnu Abi Qutaibah, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahuyah.
Adapun tiga kitab tafsir yang dipertanyakan, maka yang paling selamat dari bid’ah dan hadits-hadits yang lemah adalah tafsir Al-Baghawi. Namun tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsir Ats-Tsa’labi di mana Al-Baghawi menghapus hadits-hadits palsu dan bid’ah-bid’ah yang terdapat di dalamnya serta menghapus beberapa hal lain. Adapun tafsir Al-Wahidi, dia adalah murid Ats-Tsa’labi dan lebih berilmu dari gurunya dalam hal bahasa Arab. Namun Ats-Tsa’labi lebih selamat dari beberapa bid’ah, meskipun dia menyebutkannya hanya karena taqlid kepada yang lain. Tafsirnya (Al-Wahidi) singkat, ringkas dan sederhana, terkandung beberapa faedah yang agung, namun banyak terdapat penukilan-penukilan yang batil dan selainnya. Adapun tafsir Az-Zamakhsyari, tafsirnya penuh dengan bid’ah dan sejalan dengan metode Mu’tazilah dalam hal mengingkari sifat-sifat (Allah Subhanahu wa Ta’ala), mengingkari ru’yah (kaum mukminin melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat, pen.), menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, dan mengingkari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak atas segala sesuatu dan menciptakan perbuatan-perbuatan hamba, serta pokok-pokok pemikiran kaum Mu’tazilah yang lainnya.”
Lalu beliau berkata: “Tafsir Al-Qurthubi lebih baik dari tafsir Az-Zamakhsyari dan lebih mendekati jalan orang yang berpegang kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, serta lebih jauh dari bid’ah. Meskipun semua kitab ini tetap saja mengandung sesuatu yang dikritik, namun wajib bersikap adil di antara kitab-kitab tersebut dan memberikan setiap hak kepada yang berhak memilikinya. Tafsir Ibnu ‘Athiyyah lebih baik dari tafsir Az-Zamakhsyari dan lebih benar dalam hal penukilan dan pembahasannya serta lebih jauh dari bid’ah meskipun ada pada sebagiannya. Namun jauh lebih baik, bahkan ini adalah kitab tafsir yang paling shahih, (yaitu) tafsir Ibnu Jarir adalah yang paling shahih dari semuanya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 13/385-3
Wallahu a’lam bish-shawab.
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=745

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management