Minggu, 07 Oktober 2012

Menilik Keabsahan Ucapan Ibnu Taimiyyah: “Allah turun ke langit dunia seperti turunnya aku dari mimbar ini.”

Muhammad bin Abdullah bin Muhammad Al-Maghribi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Batutah, seorang pengembara terkenal abad 14 asal Maroko berkata tentang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
“Aku ketika itu berada di kota Damaskus, maka aku menghadiri (ceramah) beliau pada hari jum’at dan beliau sedang memberikan nasehat kepada kaum muslimin di atas mimbar Masjid Jami’, dan mengingatkan mereka. Diantara yang beliau ucapkan ketika itu adalah: ‘Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia seperti turunnya aku ini, kemudian ia turun satu tingkat dari mimbar (masjid Jami’).”
—————————
Ucapan Ibnu Batutah ini telah dijawab oleh Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad Bahjah Al-Baithor dalam kitabnya Hayatu Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah hal.36-37, dengan jawaban sebagai berikut:

Pertama: Bahwa Ibnu Batutah tidak pernah mendengar dari Ibnu Taimiyah dan tidak pernah berkumpul dengannya. Karena, tibanya Ibnu Batutah di kota Damaskus adalah pada hari kamis tanggal 19 Ramadhan yang barakah tahun 726 H. Sedangkan Ibnu Taimiyah masuk penjara Qol’ah Damaskus pada awal-awal bulan Sya’ban ditahun tersebut. Beliau tinggal disitu sampai diwafatkan Allah Ta’ala, yaitu pada malam Senin tanggal 20 Dzul Qo’dah tahun 728 H. Bagaimana mungkin Ibnu Batutah melihatnya sedang menasehati kaum muslimim diatas mimbar Masjid Jami’, padahal beliau ketika itu sedang dipenjara?!

Kedua: Syaikhul Ibnu Taimiyah sama sekali tidak pernah memberikan nasehat kepada kaum muslimin diatas mimbar Masjid Jami’, beliau hanya duduk diatas kursi.
Al-Hafizh Adz-Dzahabi (beliau adalah murid senior Ibnu Taimiyyah) berkata: “Telah tersiarlah keadaan beliau, dan membahana nama baik beliau. Beliau mengajar tafsir Al-Kitabul ‘Aziz (Al-Qur’an) dari hafalan beliau pada setiap hari jum’at diatas kursi.”
Ketiga: Sesungguhnya apa yang disebutkan Ibnu Batutah diatas berbeda dengan apa yang disebutkan Ibnu Taimiyah didalam sekian banyak kitab-kitabnya, yaitu wajib menetapkan nama dan sifat untuk Allah dengan penetapan yang tidak mengandung penyerupaan. Dan wajib membersihkan nama dan sifat Allah dari penyerupaan terhadap sifat makhluk dengan bentuk pembersihan yang tidak mengandung pengingkaran.
Dan apa yang disebutkan Ibnu Batutah diatas adalah penyerupaan (sifat Allah dengan sifat makhluk) yang sangat ditentang oleh Ibnu Taimiyyah dalam sekian kitab-kitabnya.
Beliau berkata didalam kitabnya Al-‘Aqidah Al-Wasitiyah:
ومن الإيمان بالله الإيمان بما وصف به نفسه في كتابه وبما وصفه به رسوله محمد صلى الله عليه و سلم من غير تحريف ولا تعطيل ومن غير تكييف ولا تمثيل بل يؤمنون بأن الله سبحانه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير . فلا ينفون عنه ما وصف به نفسه ولا يحرفون الكلم عن مواضعه ولا يلحدون في أسماء الله وآياته ولا يكيفون ولا يمثلون صفاته بصفات خلقه لأنه سبحانه لا سمي له ولا كفو له ولا ند له ولا يقاس بخلقه سبحانه وتعالى فإنه أعلم بنفسه وبغيره وأصدق قيلا وأحسن حديثا من خلقه
Diantara bentuk keimanan kepada Allah adalah beriman dengan apa yang telah Allah sifatkan untuk diri-Nya sendiri didalam kitab-Nya, dan juga (beriman) dengan apa yang telah disifati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tanpa tahrif (memalingkan maknanya), atau Ta’thil (menolak maknanya), atau takyif (menanyakan bagaimana sifat Allah?), atau tamtsil (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluknya). Bahkan, mereka (ahlus sunnah) beriman bahwa Allah Subhanahu tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya, dan Dia adalah Dzat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Maka mereka (Ahlus Sunnah) tidak meniadakan dari Allah apa yang telah Dia sifatkan untuk diri-Nya sendiri, tidak juga memalingkan pembicaran dari tempatnya, dan tidak membelokkan makna nama-nama Allah dan ayat-ayat-Nya. Mereka juga tidak menanyakan bagaimana? Tidak pula menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Karena, Allah Subhanahu tidak ada yang serupa, menandingi, dan menyamai-Nya. Dan Tidak boleh mengkiaskan Allah dengan makhluk-Nya Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia lebih tahu tentang diri-Nya dan diri selain-Nya. Dia lebih benar ucapan-Nya dan lebih indah perkataan-Nya daripada makhluk-Nya.”
Wallahu a’lam
Sumber rujukan:
Min A’lamil Mujaddidin, karya Syaikh Sholih Al-Fauzan
Al-’Aqidah Al-Wasitiyah

Mengoreksi Keabsahan Keyakinan Ibnu Taimiyyah: “Istiwa’ Allah Sama Seperti Istiwa’ Makhluk-Nya.”

Disebutkan bahwa Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa duduknya Allah diatas arsy seperti duduknya dia (Ibnu Taimiyyah). Hal itu, kata mereka, dikatakan sendiri oleh Ibnu Taimiyyah berulang kali ketika ia berada diatas mimbar masjid Bani Umayyah di Damaskus dan Mesir.
—————————

Kami katakan: ini adalah kedustaan jelas atas diri Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Syaikhul Islam dalam permasalahan ini menetapkan apa yang telah Allah tetapkan sendiri untuk diri-Nya, yaitu bahwa Dia (Allah) ber-istiwa’ diatas arsy dengan bentuk istiwa’ yang sesuai dengan kemuliaan-Nya Subhanahu. Tanpa takyif (menanyakan bagaimana istiwa’ Allah?), tanpa tamtsil (menirukan istiwa’ Allah dengan bentuk perbuatan), dan tanpa tasybih (menyamakan istiwa’ Allah dengan istiwa’ makhluk-Nya), hal ini seperti ucapan Imam Malik dan selainnya, “Istiwa’ adalah sesuatu yang sudah diketahui (maknanya, pent), dan al-kaif (tatacaranya) majhul (tidak ada yang tahu), beriman dengannya adalah wajib, dan menanyakan tentangnya adalah bid’ah.”
Berikut ini kami sertakan ucapan Ibnu Taimiyyah yang telah diabadaikan dalam karya tulisnya sebagai penjelas bahwa beliau tidak pernah menyamakan duduknya Allah dengan duduknya para makhluk:
Lihat Majmu’ Fatawa 5/199 Cet. Dar ‘Alamil Kutub Riyadh:

ولله تعالى استواء على عرشه حقيقة وللعبد استواء على الفلك حقيقة وليس استواء الخالق كاستواء المخلوقين فان الله لا يفتقر الى شىء ولا يحتاج الى شىء بل هو الغنى عن كل شىء

“Dan Allah memiliki sifat istiwa’ diatas arsy-Nya secara hakikat. Dan hamba juga memiliki sifat istiwa’ diatas bahtera secara hakikat. Tetapi istiwa’ Al-Kholiq (Allah) tidak seperti istiwa’ para makhluk. Karena Allah tidak butuh kepada sesuatu apapun, dan tidak membutuhkan sesuatu apapun. Bahkan Dia adalah Dzat yang Maha kaya (tidak butuh) dari segala sesuatu.”
Disini beliau rahimahullah menggunakan lafazh istiwa’ (beristiwa’) dan tidak menggunakan lafazh julus (duduk). Maka berbedalah sifat istiwa’ Allah dengan sifat istiwa’ makhluk-Nya.[1]
Karena seperti yang kita tahu bahwa sifat mengikuti sesuatu yang dia sifati. Semakin tinggi kemuliaan seseorang maka akan semakin tinggi pula sifat yang disandangkan kepadanya. Sebagai contoh –hanya sekedar memahamkan-, kera memiliki sifat duduk dan manusia juga memiliki sifat duduk, disini kita tanyakan: apakah sama sifat duduk kera dengan sifat duduk manusia? Tentu tidak sama. Sifat duduk manusia lebih mulia, karena yang disifati (yaitu manusia) lebih mulia dari kera. Maka seperti itulah, semakin mulia sesuatu maka akan semakin mulia pula sifat yang disandangnya.

[1] [ Diterjemahkan dari Kitab Min A’lamil Mujaddidin, karya Syaikh Sholih Al-Fauzan ]

Kerap kafirkan Ibnu Taimiyah, Pengarang Kifayatul Akhyar Panen Teguran


Dia adalah Taqiyuddil Al Husni Abu Bakar Muhammad bin Husaini Al Husni Assyafii, wafat tahun 829 Hijriah.
Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghaayatul ikhtishor merupakan salah satu kitabnya yang amat Populer dikarangan Pesantren-pesantren Tradisional.
Kitab ini memang cukup baik metode pensyarahannya, karena banyak mengutip dalil-dalil fiqh Dari hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Ketika ditanya tentang Kitab ini, Murid syaikh Albani yaitu syaikh Masyhur Hasan Salman mengatakan Bahwa Kitab ini bagus karena didasarkan dengan dalil-dalil naqli.
Namun sayang Taqiyuddin Al Husni jatuh kepada kesalahan kemudian mendapat celaan dari beberapa Ulama Karena menyesatkan bahkan mengkafirkan Ibnu Taimiyah dalam sebuah kitabnya yang bernama Daf’u Syubhati man Syabbaha. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Al Kautsari. Kitab tersebut telah dibantah oleh Ibnu Abdil Hadi dengan Judul As shorimul Mughni Fi Raddi alal Husni.
Assakhawi menukil Al Imam Al Muqrizi Menyebutkan dalam Kitab Uqud miliknya secara ringkas
“ Dia itu amat Fanatik dengan Asyairah dan menyimpang dari mazhab Hanabilah hingga keluar batas. Ada beberapa hal terkait dirinya di Damaskus. Ia berbicara keji mencela Ibnu Taimiyah dan mengkafirkannya terang-terangan tanpa Rasa malu, bahkan ia menegaskan pengkafirannya itu ditempat-tempat pertemuan dimana ia bertemu dengan para pengikutnya hingga mereka mentaklidinya sebagaimana biasanya terjadi pada mayarakat kami kala itu yang mereka mentaqlidi siapa saja yang mereka yakini.
Niscaya nanti mereka semua akan diserahkan Kepada Allah yang Maha mengetahui baik dan buruk.
Dia tetap dalam pendapat itu hingga meninggal. Semoga Allah Memaafkannya.”
Pada Biografi Ibrahim bin Muhammad bin Kholil Alburhan Abul wafa At Tharablisi, Tharablis di syam, beliau lahir dikota Halab dan besar disana, Syafii adalah Mazhabnya, As Sakhawi mengutip Al Muqrizi dia mengatakan:
“ ketika Attaqi Al Husni memasuki kota Halab, sampai Kepadaku berita bahwa dia tidak ingin menemuinya ( Muhammad bin kholil Al Burhan, red) karena ia mengingkari dialog dengan dua orang pemakai pakaian -yang memakai pakaian bagus dengan gaya ahli bid’ah dan dengan orang yang sengsara dengan meninggalkan kehidupan duniawi dan tidak memperdulikan kondisi manusia-.
Keinginannya (Muhammad bin Kholil Alburhan) sudah kuat, maka akhirnya ia tidak punya pilihan lain kecuali mendatanginya. Ia mendapatinya sedang tidur di Madrasah Syarfiyyah, Ia Pun duduk hingga membangunkannya kemudian Ia Memberi Salam.
“Engkau Attaqi Al Husni?” Ia menjawab: :”Saya Abu Bakar, (kunyahny, red)”.
Kemudian ia bertanya tentang syaikh-syaikhnya, Maka iapun menyebutkannya. Ia (Muhammad bin Kholil Al Burhan, rerd) berkata:” Sesungguhnya syaikh-syaikhmu yang telah engkau sebutkan itu merupakan hamba-hamba Ibnu Taimiyah atau hamba dari orang yang belajar kepada Ibnu Taimiyah. Lalu Kenapa kamu merendahkannya”?
Maka Attaqi (Alhusni, red) Tidak punya Pilihan selain buru-buru mengambil sandalnya dan pergi tanpa berani membantahnya.”
Semoga bermanfaat

“Berselisih” dengan Imam

Perbedaan Mazhab merupakan hal yang tidak dapat dihindari, masalah timbul  ketika kita harus mempraktekkan apa yang kita yakini benar itu terbentur oleh perbedaan tersebut.
Konsekwensi perbedaan Mazhab ini terkadang amat merepotkan  ketika terjadi didalam sholat, Bagaimana para Ulama memandang permasalahan Ini, terutama pendapat ibnu taimiyah yang merupakan isu utama dalam blog ini?
Kaidah utama yang dipegang oleh Ibnu taimiyah adalah sahnya sholat makmum sekalipun ada perbedaan antara imam dan makmum dalam gerakan atau bacaan sholat tertentu. Beliau pernah ditanya mengenai hal tersebut:
وسئل شيخ الإسلام ابن تيمية رَحمه اللّه : هل تصح صلاة المأموم خلف من يخالف مذهبه
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah pernah ditanya: Apakah sah sholat seorang makmum yang sholat mengikuti Imam yang berbeda mazhabnya?
فأجاب : وأما صلاة الرجل خلف من يخالف مذهبه فهذه تصح باتفاق الصحابة والتابعين لهم بإحسان والأئمة الأربعة ولكن النزاع في صورتين : إحداهما : خلافها شاذ وهو ما إذا أتى الإمام بالواجبات كما يعتقده المأموم لكن لا يعتقد وجوبها مثل التشهد الأخير إذا فعله من لم يعتقد وجوبه والمأموم يعتقد وجوبه فهذا فيه خلاف شاذ . والصواب الذي عليه السلف وجمهور الخلف صحة الصلاة
والمسألة الثانية : فيها نزاع مشهور إذا ترك الإمام ما يعتقد المأموم وجوبه مثل أن يترك قراءة البسملة سرا وجهرا والمأموم يعتقد وجوبها . أو مثل أن يترك الوضوء من مس الذكر أو لمس النساء أو أكل لحم الإبل. أو القهقهة أو خروج النجاسات أو النجاسة النادرة والمأموم يرى وجوب الوضوء من ذلك فهذا فيه قولان . أصحهما صحة صلاة المأموم وهو مذهب مالك وأصرح الروايتين عن أحمد في مثل هذه المسائل وهو أحد الوجهين في مذهب الشافعي بل هو المنصوص عنه فإنه كان يصلي خلف المالكية الذين لا يقرءون البسملة ومذهبه وجوب قراءتها . والدليل على ذلك ما رواه البخاري وغيره عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : { يصلون لكم فإن أصابوا فلكم ولهم وإن أخطئوا فلكم وعليهم } فجعل خطأ الإمام عليه دون المأموم
Beliau menjawab:
Adapun sholat seseorang dibelakang orang yang berbeda mazhab adalah sah berdasarkan kesepakatan para sahabat dan yang mengikuti mereka dalam kebaikan serta empat Imam. Namun pertentangan terjadi pada dua kasus:
Pertama: perbedaannya itu ganjil yaitu jika seorang imam melakukan perbuatan yang wajib seperti apa yang diyakini oleh makmum namun ia tidak meyakini bahwa perbuatan tersebut adalah wajib. Misalnya Tasyahud akhir jika dilakukan oleh orang (imam) yang tidak meyakini kewajibannya sementara makmum meyakininya sebagai kewajiban. Inilah  perbedaan yang ganjil. Yang benar sesuai dengan pendapat salaf dan jumhur sahabat adalah sahnya sholat tersebut.
Masalah kedua: terdapat perbedaan yang terkenal jika seorang Imam meninggalkan perbuatan yang diyakini kewajibannya oleh makmum. Misalnya Imam meninggalkan membaca bismillah sedangkan makmum meyakininya sebagai kewajiban. Atau Imam tidak berwudhu karena menyentuh kemaluan, menyentuh wanita, makan daging unta, tertawa keras, keluar banyak najis, atau najis yang jarang sedangkan makmum menganggap wajib berwudhu. Dalam hal ini ada dua pendapat: yang paling sohih adalah sahnya sholat makmum dan itu merupakan mazhab malik dan merupakan pendapat yang paling tegas diantara dua pendapat dari Imam Ahmad pada masalah-masalah seperti ini. Ini juga merupakan salah satu dari dua pendapat didalam mazhab Syafii bahkan yang manshus dari Imam Syafii. Sesungguhnya beliau pernah sholat dibelakang penganut mazhab maliki yang tidak membaca bismillah sedangkan mazhab beliau mewajibkannya. Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh al Bukhori dan lainnya dari Nabi Shallallaahu alaihi Wasallam bahwasanya beliau bersabda: “Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka”. Beliau menjadikan kesalahan Imam sebagai tanggungan Imam sendiri berbeda dengan makmum.
Ijma tentang sahnya mengikut imam yang berbeda mazhab dikuatkan oleh ibnu Qudamah:
فأما المخالفون في الفروع كأصحاب أبي حنيفة , ومالك , والشافعي : فالصلاة خلفهم صحيحة غير مكروهة ، نصَّ عليه أحمد ; لأن الصحابة والتابعين ومن بعدهم : لم يزل بعضهم يأتم ببعض , مع اختلافهم في الفروع , فكان ذلك إجماعاً” انتهى
Adapun perbedaan dalam masalah furu’ seperti pengikut Mazhab Abu Hanifah, Malik, dan  Syafii: Maka sholat dibelakang mereka adalah sah tidak makruh. Hal ini diputuskan oleh Imam Ahmad; karena para sahabat, tabiin dan orang-orang setelah mereka senantiasa berimam satu sama lain padahal mereka berbeda dalam masalah furu. Hal itu adalah Ijma. selesai[1]
Boleh berbeda dengan Imam tapi mengikuti lebih utama
Permasalah berbedanya makmum dengan Imam berkutat pada hadits Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam:
إنما جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا وإذا رَفَعَ فَارْفَعُوا وإذا قال سمع الله لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وإذا صلى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ

“Hanyalah dijadikan imam adalah untuk diikuti, maka jika imam sholat berdiri maka sholatlah kalian (wahai para mekmum-pent) berdiri juga, jika imam ruku’ maka ruku’lah kalian, dan jika imam bangkit maka bangkitlah, dan jika imam berkata “Sami’allahu liman hamidahu” ucapkanlah “Robbanaa wa lakalhamdu”. Jika imam sholat berdiri maka sholatlah berdiri, dan jika imam sholat duduk maka sholatlah kalian seluruhnya dengan duduk”[2]
Hadits diatas juga senada dengan hadits berikut:
أَمَا يَخْشَى الَّذِيْ يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَبْلَ اْلإِمَامِ أَنْ يُحَوِّلَ اللهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَا
Tidakkah takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam bahwa Allah akan mengganti kepalanya dengan kepala keledai?”[3]
Dari hadits diatas terdapat gambaran jelas bahwa terlarangnya penyelisihan makmum terhadap Imam adalah Jika perselisihan tersebut terjadi pada Hal-hal yang dzohir dan dapat membuat makmumnya tertinggal atau mendahului Imam.
Imam Nawawi berkata:
وَأَمَّا قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَام لِيُؤْتَمّ بِهِ فَمَعْنَاهُ عِنْد الشَّافِعِيّ وَطَائِفَة فِي الْأَفْعَال الظَّاهِرَة
“Adapun sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: (Sesungguhnya imam diangkat untuk diikuti) maka maknanya menurut Syafi’iy dan sebagian ulama adalah di dalam perbuatan-perbuatan yang dhahir ” [4]
Ibnu Taimiyah menyinggung sebuah perbedaan yang boleh dilakukan oleh makmum ketika dia sedang berimam dengan orang yang berbeda pendapatnya tentang duduk istirahat.
سئل عن رجل يصلي مأموما ويجلس بين الركعات جلسة الاستراحة ولم يفعل ذلك الإمام فهل يجوز ذلك له ؟ وإذا جاز : هل يكون منقصا لأجره لأجل كونه لم يتابع الإمام في سرعة الإمام ؟
Beliau ditanya tentang seseorang yang sholat menjadi makmum dan melakukan duduk istirahat antara rakaat sementara Imam tidak melakukannya. Apakah itu boleh? Kalau itu boleh, apakah tidak mengurangi pahalanya karena tidak bersegera mengikuti Imam
وفأجاب : جلسة الاستراحة قد ثبت في الصحيح أن النبي صلى الله عليه وسلم جلسها ; لكن تردد العلماء هل فعل ذلك من كبر السن للحاجة أو فعل ذلك لأنه من سنة الصلاة
فمن قال بالثاني : استحبها كقول الشافعي وأحمد في إحدى الروايتين
ومن قال بالأول : لم يستحبها إلا عند الحاجة كقول أبي حنيفة ومالك وأحمد في الرواية الأخرى . ومن فعلها لم ينكر عليه وإن كان مأموما ; لكون التأخر بمقدار ما ليس هو من التخلف المنهي عنه عند من يقول باستحبابها وهل هذا إلا فعل في محل اجتهاد فإنه قد تعارض فعل هذه السنة عنده والمبادرة إلى موافقة الإمام فإن ذلك أولى من التخلف لكنه يسير فصار مثل ما إذا قام من التشهد الأول قبل أن يكمله المأموم والمأموم يرى أنه مستحب أو مثل أن يسلم وقد بقي عليه يسير من الدعاء هل يسلم أو يتمه ؟ ومثل هذه المسائل هي من مسائل الاجتهاد والأقوى أن متابعة الإمام أولى من التخلف لفعل مستحب والله أعلم
Beliau menjawab:
“Duduk istirahat merupakan hal yang telah valid dilakukan oleh  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didalam kitab sohih, akan tetapi para ulama berselisih antara apakah Nabi melakukannya karena kebutuhan beliau yang sudah tua?, ataukah Nabi melakukannya karena termasuk sunnah dalam sholat?. Barangsiapa yang berpendapat dengan kemungkinan kedua maka ia menganggapnya mustahab sebagaimana pendapat As-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Ahmad. Dan barangsiapa yang berpendapat dengan kemungkinan pertama maka ia tidak menganggapnya mustahab kecuali jika memerlukannya sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Malik, dan salah satu riwayat dari Ahmad.
Barangsiapa yang melakukan duduk istirahat maka tidak boleh diingkari meskipun posisinya sebagai makmum (sementara imam tidak melakukannya-pent) karena keterlambatannya mengikuti (imam yang tidak duduk istirahat) hanya sedikit dan tidak termasuk keterlambatan yang dilarang –menurut mereka yang berpendapat akan mustahabnya duduk istirahat-. Bukankah ini cuma perbuatan yang merupakan perkara ijtihad? Karena sesungguhnya telah bertentangan antara melakukan sunnah ini –yaitu menurutnya- dengan bersegera mengikuti imam?, sesungguhnya mengikuti imam lebih utama daripada terlambat. Akan tetapi keterlambatan tersebut hanya sedikit, maka perkaranya seperti jika imam berdiri dari tasyahhud awal sebelum makmum menyelesaikan (bacaan) tasyahhud awal padahal makmum memandang mustahabnya menyempurnakan bacaan tasyahhud awal (sehingga akhirnya sang makmum terlambat beridiri-pent). Atau seperti jika imam salam padahal sang makmum masih ingin berdoa sedikit lagi, apakah sang makmum segera salam ataukah menyempurnakan dahulu doanya?. Permasalahan-permasalahan seperti ini termasuk permasalahan ijtihad, dan yang paling kuat adalah bahwa bersegera mengikuti imam itu lebih utama dari pada terlambat karena melakukan perkara yang mustahab. Wallahu A’lam[5]
Pendapat ini dikuatkan oleh Faqihuzzaman Muhammad Bin Sholih al Utsaimin
فإذا سقط الجلوس في التشهد من أجل المتابعة فليسقط الجلوس للاستراحة من أجل المتابعة لكني أقول لما كان التخلف في جلسة الاستراحة يسيراً فإن الجلسة لا تعد مخالفة للإمام ولا تبطل الصلاة لو جلس لكننا نأمره أن لا يجلس
Jika duduk tasyahud bisa gugur karena mengikuti Imam (yang lupa, pent) maka duduk istirahat juga bisa gugur karena mengikuti Imam. Tapi aku menganggap ketinggalan yang ringan dalam duduk istirahat tidak dianggap menyalahi Imam dan tidak batal sholat kalau ia melakukannya, tapi saya memerintahkan agar tidak duduk istirahat (mengikuti imam, pent)[6]
Jadi jelas untuk hal-hal yang merupakan ijtihad dan bisa mempengaruhi dalam hal tertinggal atau mendahului imam dan atau terlihat mencolok secara dzohir maka makmum wajib mengikuti Imam. Namun jika tertinggalnya ringan saja, maka makmum boleh melakukannya namun tetap disarankan untuk mengikuti Imam.

Semoga bermanfaat


[1] al Mughni Jilid 11/2
[2] Hadits riwayat Al-Bukhari no 657
[3] Hadits riwayat Muslim
[4] Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Bin Al-Hajjaj 4/134
[5] Majmû Al-Fatâwâ Jilid 22/451-452
[6] Majmû Al-Fatâwâ Jilid 13/538

Ali dimata Ibnu Taimiyah


Ali bin Muhammad Al-Qadiby Ibnu Taimiyah memuji Ali bin Abi Thalib dibanyak Tempat dalam karangannya. Beliau menyanjung dan memposisikan beliau sebagai Kholifah keempat setelah Abu Bakr, Umar, dan Utsman Radhiyallaahu anhum layaknya manhaj Ahlussunnah Waljamaah. Hal itu sangat jelas dan lugas nampak bagi para pembaca kitab-kitab Syaikh. Aku tidak mengetahui bagaimana mungkin pandangan Ahli bid’ah dan para pencela Syaikhul Islam terlewatkan dari hal-hal tersebut.
Aku telah mengumpulkan sebagiannya pada pembahasan ini agar dibaca oleh setiap penulis dan para Pencari kebenaran serta untuk mencerahkan mata Ahlussunnah agar tidak nampak didada mereka gangguan ahli bid’ah terhadap Ibnu Taimiyah ketika mereka menelaah tuduhan-tuduhan dzolim tersebut.
Saya Banyak menukil dari Kitab Minhajussunnah karena kitab tersebut merupakan acuan utama para penghujat dan penuduh Ibnu Taimiyah. Penyebabnya adalah bahwa Di dalam Kitab tersebut terdapat beberapa ungkapan yang perlu diwaspadai sebagai Pendapat miring beliau terhadap Ali bin Abi Thalib atau terpahami sebagai ungkapan yang merendahkan Ali Bin Abu Thalib, Maka aku ingin menjelaskan bahwa mereka adalah kaum yang tidak memahami maksud-maksud Syaikh pada ungkapan-ungkapan tersebut, karena mereka melihatnya dengan mata kebencian dan permusuhan pada Agama Sedangkan pemilik mata-mata sejenis ini tidak akan beruntung.
Aku memulai tulisan ini dengan menyebutkan Aqidah beliau –Rahimahullah- tentang sahabat dengan menukil dari kitab Al Aqidah Al Waashitiyyah. Kitab Tersebut merupakan Representasi Aqidah beliau yang Masyhur yang ditulis dengan tangannya serta menyokong pendapat beliau dihadapan ahli bid’ah.

Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata :

“ Termasuk Ushul Ahlussunnah waljamaah adalah terjaga hati dan lisan mereka terhadap Sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam seperti apa yang Telah disifatkan kepada Mereka oleh Allah dalam firmanNya :
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (10)
(الحشر:10)
Artinya : “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”
Serta mentaati Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam pada sabda beliau:
لا تسبوا أصحابي، فوالذي نفسي بيده لو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا ما بلغ مد أحدهم ولا نصيفه
Artinya: “ Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku di tanganNya, kalau seandainya salah seorang di antar kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang di antara mereka tidak juga setengahnya”
Menerima apa yang disampaikan oleh Sunnah dan Ijma tentang keutamaan dan kedudukan mereka,
Mengutamakan mereka yang berinfak dan berperang sebelum fathul mekkah –Perjanjian Hudaibiyah- atas mereka yang berperang dan berinfak setelahnya.
Mengutamakan Muhajirin atas Anshar,
Mengimani bahwasanya Allah telah berfirman berkenaan dengan Peserta perang badar yang berjumlah lebih dari 310 orang : “berbuatlah sekehendak kalian, sesungguhnya aku telah mengampuni kalian” ،
Percaya bahwa tak seorangpun yang telah berbaiat dibaawah Pohon akan masuk neraka seperti yang telah dikabarkan Oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, bahkan telah diridhai Oleh Allah serta mereka Ridha kepada Allah. Jumlah mereka lebih dari 1400 orang,
Menetapkankan bahwa sebagian dari mereka telah disaksikan sebagai ahli syurga oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam seperti Al Asyrah
Percaya bahwa Tsabit bin Qays bin Syammas dan selainnya termasuk sahabat.
Menetapkan apa yang telah Mutawatir penukilannya terkait dengan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib dan lainnya, namun sebaik-baik ummat ini setelah nabi mereka adalah Abu Bakar kemudian Umar, Memposisikan Utsman pada tempat ketiga dan Ali Radiyallahu anhu pada posisi keempat seperti yang telah ditunjukkan oleh atsar dan Ijma pendahuluan utsman pada masalah pembaitan, meskipun sebelumnya Ahlussunnah berselisih siapa yang lebih utama antara Utsman dan Ali Radiyallahu anhuma setelah mereka bersepakat untuk mendahulukan Abu Bakar dan Umar. Satu kaum mendahulukan Utsman lalu mereka diam, dan menempatkan Ali pada Posisi keempat. kaum lain mendahulukan Ali lalu mereka Tawaqquf. Namun Telah Mantap dalam urusan Ahli Sunnah untuk mendahulukan Utsman dari pada Ali.
Sekalipun masalah Ini –pendahuluan Utsman Atas Ali- bukan termasuk Ushul yang dapat menyesatkan penyelisihnya berdasarkan Jumhur Ahlussunnah, Namun Justeru yang dapat menyesatkan penyelisihnya adalah masalah Khilafah. Mereka Percaya bahwa Kholifah setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah Abu Bakar kemudian Umar kemudian Utsman, kemudian Ali. Siapapun yang mencela kekhalifahan salah satu dari mereka maka ia lebih sesat dari keledainya .
Adapun tempat dimana syaikhul Islam Menyebutkan Keutamaan Ali Radhiyallaahu Anhu dan membelanya adalah sebagai berikut:
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata :
”Keutamaan Ali dan Posisinya serta ketinggian kedudukannya disisi Allah adalah suatu hal yang sudah diketahui, Alhamdulillah, dari sumber-sumber kokoh yang meyakinkan, tidak memerlukan sokongan riwayat dusta dan sokongan riwayat yang tidak diketahui kebenarannya”.
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:
وأما كون عليّ وغيره مولى كل مؤمن ، فهو وصف ثابت لعليّ في حياة النبي صلى الله عليه وسلم وبعد مماته، وبعد ممات عليّ، فعلي اليوم مولى كل مؤمن
“Adapun keadaan Ali dan selainnya bahwa dia adalah kekasih setiap mukmin, itu adalah sifat yang benar untuk Ali sejak Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam hidup dan setelah beliau meninggal dan juga setelah Ali meninggal. Maka Ali pada hari ini tetap wali/kekasih setiap mukmin” (Minhajus Sunnah:7/325)
((وأما علي رضي الله عنه فلا ريب أنه ممن يحب الله ويحبه الله))
“Adapun Ali radhiallahu ‘anhu tidak diragukan lagi bahwa dia adalah termasuk orang yang mencintai Allah dan dicintai Allah” (Minhajus Sunnah:7/218 )
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:
((لا ريب أن موالاة علي واجبة على كل مؤمن، كما يجب على كل مؤمن موالاة أمثاله من المؤمنين))
“Tidak diragukan lagi bahwa mencintai Ali adalah wajib bagi setiap mukmin, sebagaimana diwajibkan bagi setiap mukmin untuk mencintai mukmin yang lainnya
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:
بل هم كلهم متفقون على أنه أجلّ قدراً، وأحق بالإمامة، وأفضل عند الله وعند رسوله وعند المؤمنين من معاوية وأبيه وأخيه الذي كان خيراً منه، وعليّ أفضل من الذين اسلموا عام الفتح وفي هؤلاء خلق كثير افضل من معاوية. أهل الشجرة افضل من هؤلاء كلهم ، وعليّ أفضل جمهور الذين بايعوا تحت الشجرة، بل هو أفضل منهم كلهم إلا ثلاثة، فليس في أهل السنة من يقدم عليه أحداً غير الثلاثة، بل يفضلونه على جمهور أهل بدر وأهل بيعة الرضوان، وعلى السابقين الأوَّلين من المهاجرين والأنصار))
“Bahkan mereka (Ahlussunnah) semua sepakat bahwa Ali memiliki kedudukan lebih tinggi, lebih berhak dengan kepemimpinan, dan lebih mulia di sisi Allah dan rasul-Nya serta kaum mukminin dari Mu’awiyah, ayahnya dan saudaranya yang lebih utama darinya (Mu’awiyah). Dan Ali lebih utama dari semua shahabat yang masuk islam pada Fathu Makkah, sedangkan banyak diantara mereka (yang masuk islam pada Fathu Makkah) lebih utama dari Mu’awiyah. Dan Ahlu Syajarah (yang berbaitan di bawah pohon, bai’at ridhwan) lebih utama dari mereka (yang masuk islam pada fathu Makkah), dan Ali lebih utama dari mereka semua yang ikut berbai’at di bawah pohon kecuali dari tiga orang. Tidak ada dari kalangan Ahlussunnah yang mendahulukan seorang pun diatas Ali kecuali dari tiga orang. Bahkan Ali lebih afdhal dari mayoritas Ahlu Badar (yang ikut perang badar) dan yang mengikuti bai’at Ridhwan, dan (lebih utama) dari Sabiqunal Awwalun dari Muhajirin dan Anshar” (Minhajus Sunnah:4/396)

Ibnu Taimiyah Menjelaskan Keberanian Ali Bin Abu Thalib Radiyallahu anhu:

لا ريب أن علياً رضي الله عنه كان من شجعان الصحابة، وممن نصر الله الإسلام بجهاده، ومن كبار السابقين الأوَّلين من المهاجرين والأنصار، ومن سادات من آمن بالله واليوم الآخر وجاهد في سبيل الله، وممن قاتل بسيفه عدداً من الكفار((
“Tidak diragukan lagi bahwa Ali radhiallahu ‘anhu termasuk shahabat yang paling berani, dan termasuk yang Allah menolong islam dengan sebab jihadnya, termasuk shahabat besar sabiqunal awwalun dari muhajirin dan anshar, pembesar orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan (pembesar) orang yang berjihad fii sabilillah, dan Ali dengan pedangnya telah membunuh sejumlah orang kafir.” (Minhajus Sunnah:8/76)
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:
وأما زهد عليّ رضي الله عنه في المال فلا ريب فيه، لكن الشأن أنه كان أزهد من أبي بكر وعمر
Adapun kezuhudan Ali radhiallahu ‘anhu dalam hal harta maka tidak perlu diragukan lagi, namun permasalahannya adalah kalau dikatakan Ali lebih zuhud dari Abu Bakar dan Uma
Ibnu Taimiyah Berkata:
نحن نعلم أن علياً كان أتقى لله من أن يتعمد الكذب، كما أن أبا بكر وعمر وعثمان وغيرهم كانوا أتقى لله من أن يتعمدوا للكذب
“Kita mengetahui bahwa Ali takut kepada Allah untuk berpegang dengan kedustaan, seperti Abu Bakar dan Umar dan Utsman dan selain dari mereka juga takut berpegang dengan kedustaan”.
Ibnu Taimiyyah lebih mengutamakan shahabat yang tidak ikut memerangi Ali daripada shahabat yang ikut memerangi Ali:
((وأيضاً فأهل السنة يحبون الذين لم يقاتلوا علياً أعظم مما يحبون من قاتله، ويفضلون من لم يقاتله على من قاتله كسعد بن أبي وقاص، وأسامة بن زيد، ومحمد بن مسلمة، وعبد الله بن عمر رضي الله عنهم. فهؤلاء أفضل من الذين قاتلوا علياً عند أهل السنة.
والحب لعليّ وترك قتاله خير بإجماع أهل السنة من بغضه وقتاله، وهم متفقون على وجوب موالاته ومحبته، وهم من أشد الناس ذبّاً عنه، ورداً على من طعن عليه من الخوارج وغيرهم من النواصب، ولكن لكل مقام مقال))
“dan juga, kecintaan Ahlussunnah terhadap para shahabat yang tidak ikut memerangi Ali lebih besar dari kecintaan mereka terhadap shahabat yang ikut memerangi Ali. Dan lebih mengutamakan shahabat yang tidak ikut memeranginya daripada shahabat yang ikut memeranginya, Seperti Sa’d bin Abi Waqqash, Usamah bin Zaid, Muhammad bin Maslamah, dan Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhum, mereka ini lebih utama disisi Ahlussunnah daripada (para shahabat) yang ikut memerangi Ali.
Dan mencintai Ali demikian pula menghindar dari peperangan adalah lebih baik dengan kesepakatan Ahlussunnah daripada membencinya dan memeranginya. Dan mereka sepakat wajibnya menjadikan Ali wali dan mencintainya, mereka (ahlussunnah) adalah manusia yang paling gigih membela Ali, dan membantah setiap yang mencelanya dari kalangan Khawarij dan selain mereka dari kalangan nawashib, akan tetapi setiap keadaan ada memiliki penyikapan tersendiri” (Minhajus Sunnah:4/395)
Ibnu Taimiyyah lebih mendahulukan shahabat yang berperang dipihak Ali daripada shahabat yang berperang dipihak Mu’awiyah –radhiallahu ‘anhum ajma’in- beliau berkata:
((معلوم أن الذين كانوا مع علي من الصحابة مثل: عمار وسهل بن حنيف ونحوهما كانوا أفضل من الذين كانوا مع معاوية))
“dan telah diketahui bahwa para shahabat yang berperang di pihak Ali seperti, Ammar, Sahl bin Hunaif dan selain keduanya lebih afdhal dari para shahabat yang ikut berperang di pihak Mu’awiyah” (Majmu’ atur Rasail wal Masail li Ibni Taimiyyah, hal:61)
Ini adalah secuil penukilan dari Ibnu Taimiyah seputar keutamaan Ali dan pembelaan beliau terhadap Ali dihadapan Musuh-musuhnya serta berlepas dirinya Beliau dari segala hal (fitnah.pent) yang disematkan kepada Beliau.
Apakah setelah ini, pantas dikatakan sebagaimana yang dikataan oleh ahli bid’ah yang jahat bahwa Ibnu Taimiyah telah memutar balikkan Fakta terhadap Ali Radhiallaahu anhu serta merendahkannya didalam kitab-kitab beliau!?
سبحانك هذا بهتان عظيم
Orang muslim yang rendah sekalipun tidak akan mengatakan hal tersebut, apalagi terkait dengan syaikhul Islam ibnu Taimiyah yang telah mengikat hari-hari dalam hidupnya untuk membawakan Aqidah ahlussunnah, termasuk dalam lingkup Aqidah tersebut adalah pengutamaan Ali Radiallaahuanhu dan menjadikannya sebagai Khaliafh yang keempat, serta I’tiqadnya bahwasanya Ali berada diatas kebenaran didepan siapapun yang memerangi dan menyelisihinya.
Tetapi dosa Syaikhul Islam disisi para Ahli bid’ah tersebut adalah beliau tidak berlebihan kepada Ali seperti yang mereka lakukan, atau beliau tidak melewati keutamaan yang Allah tetapkan Atas Ali Bin Abu Thalib.
المصدر : رسالة :
ثناء ابن تيمية رحمه الله
على أمير المؤمنين علي بن أبي طالب رضي الله عنه
وأهل البيت رحمهم الله
جمع وترتيب
أبي خليفة علي بن محمد القُضيبي
1424هـ – 2003م
تقديم الشيخ
سليمان بن صالح الخراشي
شبكة الدفاع عن السنة
www.d-sunnah.net

Teknik Menghancurkan Nama Baik Syaikhul Islam


1. Memfitnah dan Membuat kedustaan terhadap Ibnu Taimiyah.
Metode Ini banyak dilakukan oleh orang-orang yang secara jelas menjadi musuh-musuh Ibnu Taimiyah. Beberapa kedustaan terlihat dibuat secara lihai dan tersusun rapi dari mulai membuat tulisan yang mengesankan dibuat sendiri oleh Ibnu Taimiyah Hingga memalsukan surat-surat beliau.
Jalan keluar
Bagi para pecinta kebenaran, jangan ragu untuk membuka Kitab-kitab ibnu Taimiyah apabila ada kesan bahwa ibnu Taimiyah menulis atau berpendapat yang bertentangan dengan Aqidah Ahlussunnah. Sebagai contoh dari kasus ini adalah fitnah dan kedustaan yang menuduh bahwa Ibnu Taimiyah mencela Abu Bakar yang dianggap masuk Islam dalam Umur yang sudah tua dan tidak tahu apa yang dikatakannya, begitu juga beliau dituduh mencela Ali dengan mengatakan bahwa Ali masuk Islam ketika kanak-kanak,oleh karena itu tidak Sah Islamnya dan rakus kekuasaan.
Fitnah-fitnah seperti ini banyak sekali mendera Ibnu Taimiyah, oleh karena itu harus dibantah dengan membuka Kitab-kitab Ibnu Taimiyah tentang sikap beliau terhadap Abu Bakar dan Ali. saya sudah mencobanya, dan ternyata sikap ibnu Taimiyah terhadap mereka jauh dari yang digambarkan para tukang finah Tersebut. Dari sini bisa dipastikan bahwa itu semua adalah fitnah.
2. Melakukan distorsi penukilan hingga merubah konteks dari kitab yang mereka nukil
Metode Ini amat Sering dilakukan oleh Musuh-musuh ibnu Taimiyah yang tidak sejaman dengan beliau, terutama orang-orang di zaman ini. Mereka menukil sebagian kalimat dalam sebuah kitab tertentu hingga terkesan kalimat atau paragraph tersebut menjadi celaan buat Ibnu Taimiyah.
Sebagai contoh adalah apa yang mereka lakukan pada Kitab zaghlul Ilmi. Mereka Menukil Sebagian tulisam Az zahabi hingga terkesan beliau mencela ibnu Taimiyah dengan Keras, tapi kalau dinukil Semuanya maka akan terlihat maksud lain dari Az Zahabi.
Coba lihat nukilan musuh ibnu Taimiyah dari kitab Zaghlul Ilmi berikut.
……………..
وقد تعبت في وزنه وفتشه حتى مللت في سنين متطاولة فما وجدت قد اخره بين أهل مصر والشام ومقتته نفوسهم وازدروا به وكذبوه وكفروه إلا الكبر والعجب وفرط الغرام في رياسة المشيخة والازدراء بالكبار فانظر كيف وبال الدعاوي ومحبة الظهور نسأل الله تعالى المسامحة
……………
Artinya (Versi Musuh-musuh Ibnu Taimiyah):
Saya sudah lelah mengamati dan menimbang sepak terjangnya (Ibnu Taimiyah), hingga saya merasa bosan setelah bertahun-tahun menelitinya. Hasil yang saya peroleh; ternyata bahwa penyebab tidak sejajarnya Ibnu Taimiyah dengan ulama Syam dan Mesir serta ia dibenci,dihina, didustakan dan dikafirkan oleh penduduk Syamdan Mesir adalah karena ia sombong, terlena oleh diri dan hawa nafsunya (‘ujub), sangat haus dan gandrung untuk mengepalai dan memimpin para ulama dan sering melecehkan para ulama besar. Lihatlah Wahai pembaca betapa berbahayanya mengaku-ngaku sesuatu yang tidak dimilikinya dan betapa nestapanya akibat yang ditimbulkan dari gandrung akan popularitas dan ketenaran. Kita mohon semoga Allah mengampuni kita”.
Coba lihat nukilan lengkapnya:
فوالله ما رمقت عيني أوسع علما ولا اقوى ذكاء من رجل يقال له ابن تيمية مع الزهد في المأكل والملبس والنساء ومع القيام في الحق والجهاد بكل ممكن وقد تعبت في وزنه وفتشه حتى مللت في سنين متطاولة فما وجدت قد اخره بين أهل مصر والشام ومقتته نفوسهم وازدروا به وكذبوه وكفروه إلا الكبر والعجب وفرط الغرام في رياسة المشيخة والازدراء بالكبار فانظر كيف وبال الدعاوي ومحبة الظهور نسأل الله تعالى المسامحة فقد قام عليه أناس ليسوا بأورع منه ولا أعلم منه ولا أزهد منه
Lihatlah betapa lihainya mereka melakukan distorsi terhadap tulisan Az Zahabi dan memainkan nukilan hingga dhomir-dhomir terkesan sangat jelas dimaksudkan untuk Ibnu Taimiyah
Mari kita Terjemahkan bersama-sama kutipan dan terjemahan lengkapnya:
Demi Allah mataku tidak pernah memandang seeseorang yang lebih luas ilmunya serta lebih kuat kecerdasannya dari orang yang bernama Ibnu Taimiyah dengan kezuhudannya pada makanan, pakaian, dan Perempuan serta penegakkan kebenaran dan berjihad dengan segala sesuatu yang memungkinkan.
Saya sudah lelah mengamati dan menimbangnya hingga saya bosan setelah bertahun-tahun menelitinya, hasil yang saya peroleh: ternyata Penyebab ia direndahkan oleh penduduk mesir dan syam, serta mereka membencinya, menghinanya,mendustakannya, dan mengkafirkannya adalah karena kesombongan,ujub, dan keinginan untuk menjadi Pimpinan serta pelecehan terhadap para pembesar. Lihatlah betapa berbahayanya mengaku-ngaku sesuatu yang tidak dimiliki dan cinta kepada popularitas. Kita mohon Ampun kepada Allah subhanahu wataala.
Beberapa orang telah membantahnya (ibnu Taimiyah). Mereka tidak lebih wara, tidak lebih alim, dan tidak lebih zuhud darinya.
Susunan paragraph diatas terlihat samar, namun Jika kita takdirkan seperti dibawah ini Insya Allah akan Jelas:
Demi Allah mataku tidak pernah memandang seeseorang yang lebih luas ilmunya serta lebih kuat kecerdasannya dari orang yang bernama Ibnu Taimiyah dengan kezuhudannya pada makanan, pakaian, dan Perempuan serta penegakkan kebenaran dan berjihad dengan segala sesuatu yang memungkinkan.
Saya sudah lelah mengamati dan menimbangnya hingga saya bosan setelah bertahun-tahun menelitinya, hasil yang saya peroleh: ternyata Penyebab ia direndahkan oleh penduduk mesir dan syam, serta mereka membencinya, menghinanya,mendustakannya, dan mengkafirkannya adalah karena kesombongan, ujub, dan keinginan [mereka] untuk menjadi Pimpinan serta pelecehan [mereka] terhadap para pembesar [seperti ibnu Taimiyah]. Lihatlah betapa berbahayanya mengaku-ngaku sesuatu yang tidak dimiliki dan cinta kepada popularitas. Kita mohon Ampun kepada Allah subhanahu wataala.
Beberapa orang telah membantahnya (ibnu Taimiyah). Mereka tidak lebih wara, tidak lebih alim, dan tidak lebih zuhud darinya.
Saya tidak menampik kalau ada ulama yang memahami paragraph diatas sebagai kritik Dari Az Zahabi Terhadap Ibnu Taimiyah, namun kita harus sepakat untuk mencela orang-orang yang melakukan distorsi terhadap karya para Ulama.
Sekalipun begitu, pujian diawal dan akhir paragraph lebih mengindikasikan bahwa celaan itu untuk penduduk dan ulama mesir dan Syam, bukan Untuk Ibnu Taimiyah. Lagipula adalah hal yang umum dikalangan para Ahli sejarah bahwa beliau keluar masuk penjara dan bahkan wafat di penjara karena mempertahankan Fatwanya yang berbeda dengan pendapat ulama Kala itu.
Kecerdasan Ibnu Taimiyah adalah satu hal yang diakui kawan maupun lawan, kalaulah beliau menginginkan Popularitas, Maka akan sangat mudah bagi beliau untuk mendapatkannya dengan cara tidak mengumumkan Fatwa yang bertentangan dengan pendapat ulama Syam dan Mesir
Untuk mendapatkan kitab Zaghlul Ilmi dalam bentuk PDF silahkan didownload:
http://ia350637.us.archive.org/2/items/zaelzael/zael.pdf
3. Tidak Memahami Gaya penulisan Ibnu Taimiyah hingga terkesan sebuah kalimat adalah pendapat atau tulisan Ibnu Taimiyah Padahal Beliau sedang Menukil pendapat orang lain.
Jika hal ini dilakukan oleh orang yang jujur, dia pasti akan segera meralatnya, karena secara jelas akan ia temukan pendapat ibnu Taimiyah yang bertentangan dengan kalimat tersebut. Namun tidak bagi Hasan As Saqqaf, dia malah sengaja menampilkan tulisan ibnu Taimiyah yang bertipe seperti ini hingga orang awam menyangka bahwa itu merupakan pendapat ibnu Taimiyah.
Sebagai contoh ketika Ibnu Taimiyah menukil perkataan Mutakalliminyang menatakan الله جسم لاكالأجسام. Dalam kitab bayan talbis Jahmiyah Juz 1 Halaman 100 dan 101.
Dengan seenaknya dia menukil perkataan tersebut dan menyatakan itu adalah perkataan Ibnu Taimiyah, padahal kalau diperhatikan lebih lanjut terutama bagi orang awam, akan terlihat bahwa Ibnu Taimiyah sedang menukil pendapat para Mutakallimin.
Seorang al akh telah mengumpulkan kebohongan orang ini dengan mengajak kita langsung menelusuri sumber asli dari kitab Ibnu Taimiyah.
Silahkan dilihat
http://www.freewebs.com/alq3qa3/
4. Menetapkan Penukilan celaan terhadap ibnu Taimiyah tanpa penelitian
Dalam kitab Ad Durarul kaminah Karya ibnu Hajar Al atsqalani, beliau menulis biografi Ibnu Taimiyah dengan cukup lengkap. Dalam kitab tersebut beliau menukilkan pendapat para ulama baik yang mengagungkan Ibnu Taimiyah maupun yang kerap berpendapat miring tentang Ibnu taimiyah dan sesekali beliau menyisipkan pendapat pribadinya terhadap Ibnu Taimiyah. Dari nukilan miring tersebut itulah orang-orang yang didalam hatinya terdapat hasad dan dengki menetapkan dengan seenaknya apa yang telah dinukil oleh Ibnu Hajar, padahal beliau secara jelas menyebutkan hanya menukil tulisan orang lain, dan bahkan kadang-kadang sumber penukilan tersebut juga hasil menukil yang tidak terjamin kebenarannya. Celakanya, bahkan ada yang mengatakan bahwa nukilan tersebut merupakan pendapat ibnu Hajar. Tapi ketika Ibnu hajar menyisipkan pendapat pribadinya, kalimat tersebut sepertinya luput dari penglihatan mereka.
Saya nukilkan pendapat pribadi Ibnu hajar dari Paragraf awal Durarul Kaminah
أحمد بن عبد الحليم بن عبد السلام بن عبد الله بن أبي القاسم بن تيمية الحراني ثم الدمشقي الحنبلي تقي الدين أبو العباس بن شهاب الدين ابن مجد الدين
ولد في عاشر ربيع الأول سنة 661 وتحول به أبوه من حران سنة 67 فسمع من ابن عبد الدائم والقاسم الأربلي والمسلم ابن علان وابن أبي عمر والفخر في آخرين وقرأ بنفسه ونسخ سنن أبي داود وحصل الأجزاء ونظر في لرجال والعلل وتفقه وتمهر وتميز وتقدم وصنف ودرس وأفتى وفاق الأقران وصار عجباً في سرعة الاستحضار وقوة الجنان والتوسع في المنقول والمعقول والإطالة على مذاهب السلف والخلف
Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah bin Abil Qasim bin Taimiyah Al Harrani Ad Dimasyqi Al Hanbali Taqiyuddin Abul Abbas bin Syihabuddin bin Majduddin
Lahir pada tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H. dia Pindah bersama ayahnya dari Harran tahun 667 Hijriah.
Beliau belajar dengan Ibnu Abdillah Ad Daaim, Al Qasim Al Arbali, Muslim bin Alaan, ibnu Abi umar . Beliau Juga Belajar secara Otodidak. Beliau Menyalin Sunan Abi Dawud dan menyelesaikan Sebagian.
Beliau meneliti Rizal dan Ilal . beliau adalah orang yang Faqih, Mahir, Istimewa, terdepan, Pengarang, pelajar, Mufti, dan Melampui Manusia pada Kurun tersebut.
Dia menjadi sangat luar biasa dalam hal kecepatan Menghapal dan kekuatan Jiwa
meluaskan dalil Aqli dan Naqli serta memanjangkan pandangan tentang mazhab Salaf dan Kholaf.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Selain para nabi, tidak ada seorangpun yang terpelihara dari kesalahan. Namun menyalahkan dan memfitnah orang yang tidak salah merupakan kesalahan besar. Silahkan Para Pembaca membandingkan apa yang anda dengar tentang Ibnu Taimiyah.

Dialog rekaan antara Syaikhul Islam dengan Pengarang Al Hikam



Telah tersebar sebuah dialog unik antara pentolan Sufi dengan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pentolan tersebut adalah ibnu Athaillah Al Sakandary.
Sangat mudah untuk menemukan dialog ini di halaman internet, terutama  versi Indonesia yang merupakan terjemahan dari sebuah buku karya Pemuka Naqsabandi kenamaan yang bermukim di Amerika Muhammad Hisyam Kabbani yang juga musuh bebuyutan Naqsabandi yang dianut kebanyakan kalangan Sufi di Indonesia. Dia menulis cerita ini dalam bukunya yang berjudul Islamic Beliefs & Doctrine According to Ahl al-Sunna: A Repudiation of “Salafi” Innovations. Kesulitan justeru saya dapati ketika mencari maraji dan sumber utama dialog ini
Setelah bersusah payah mencari sumber utama kisah ini, Alhamdulillah saya mendapatkannya dalam sebuah Kitab yang dikarang oleh Abdurrahman As Sarqawy dengan judul Ibnu Taimiyah Al Faqih Al Muadzdzab. Semua buku yang menampilkan cerita ini pasti menukil dari kitab ini.
Sangat penting bagi kita untuk mengetahui validitas dari dialog ini.
Orang-orang yang sepakat dengan dialog ini berpendapat bahwa Ibnu taimiyah tercerahkan oleh ibnu Athoillah setelah sebelumnya mengecam keras Sufi dan tokohnya dalam banyak tulisannya, namun kalangan ekstrim dari sufi menganggap bahwa ibnu taimiyah  bertekuk lutut dengan hujjah yang ditampilkan oleh Ibnu Athaillah, karena memang terlihat dalam diskusi ini ibnu Taimiyah tidak garang dan dominan serta cendrung menyetujui pandangan Ibnu Athaillah.
Kalangan moderat menanggapi kisah ini sebagai contoh gaya perdebatan yang patut ditiru oleh dua orang yang sedang berselisih.
Berbeda dengan tanggapan pertama dan kedua, para pengikut Madrasah Ibnu Taimiyah menolak validitas cerita ini karena sumber-sumbernya yang tidak bisa ditelusuri dan terdapat kesalahan fatal dalam sumber maupun konten dialog. Selain itu realitas setelah dialog ini sama sekali  tidak menunjukkan perubahan terhadap Ibnu taimiyah layaknya orang yang telah setuju dengan pemahaman Sufi.
Kecacatan dalam dialog ini mereka jabarkan dari 3 sisi
Pertama: Pengarangnya
Abdurrahman As Sarqawy yang lahir tahun 1920 Masehi atau tahun 1339 Hijriah dan Wafat tahun 1980 diketahui merupakan penulis syiah sekaligus mahir membuat naskah drama.
Karirnya dalam dua hal tersebut cukup signifikan. Beberapa karangannya adalah
ابن تيمية: الفقيه المعذب
الحسين ثائراً
علي إمام المتقين
الحسين شهيداً
محمد رسول الحرية
Kitab-kitab tersebut membuat geram ulama Al Azhar karena banyaknya kebohongan dan pemalsuan, Apalagi terkait kisah Ali bin Abu Thalib dengan Muawiyah, pembunuhan Hussein,dan kedudukan Khulafaurrasyidin  yang sama persis dengan keyakinan syiah.
Salah satu kitabnya yang berjudul Muhammad Rasulul Hurriyah mendapat perhatian serius dari syaikh Muhammad Abu Zahra guru dari Syaikh Qaradhawi.
Beberapa kesalahan fatal yang disengaja oleh pengarangnya terdapat dalam kitab tersebut, diantaranya;
  1. Peperangan yang dilakukan Oleh Rasulullah adalah ijtihad Rasul sendiri bukan berdasarkan wahyu
  2. Pembunuhan yang dilakukan Syariyyah Abdullah Bin Jahsyi adalah kesalahan Rasulullah, Padahal itu Ijtihad Abdullah Bin Jahsyi.  sekalipun pembunuhan itu terjadi, Allah tetap menurunkan ayat yang membela Abdullah bin Jahsyi
  3. Rasulullah menikahi zainab karena dorongan diri sendiri dan hawa nafsu
  4. membuat keragu-raguan dalam Alqur’an
  5. meragukan kemutawatiran Alqur’an
  6. dll
dalam kitab lain ia menyerang Ahlussunnah sesuai dengan kekhasan kaum Syiah, ia mengatakan bahwa Ali lebih utama memegang kekhalifahan dan abu Bakr, Umar dan Utsman telah merampas kekhalifahan dari Ali Bin Abu thalib. Selain itu ketiga Sahabat tersebut dan juga  Muawiyah telah ia kafirkan.
Dari gambaran pengarang kitab Ibnu taimiyah Al Faqih Al Muadzdzab kita akan mulai tercerahkan bahwa kisah ini sangat mungkin rekaan, karena kita ketahui banyak karya Ibnu Taimiyah yang membuat fanatis syiah bertekuk lutut dan terdiam.[1]
Kedua: Penisbatan cerita
Dalam Kitab Ibnu Taimiyah Al Faqih Al Muadzdzab saya tidak mendapatkan maraji apapun terkait  dialog tersebut, kitab tersebut sama sekali tanpa tahqiq begitu juga penulisnya tidak menyebutkan sama sekali sumber penukilan cerita tersebut. Cerita tersebut amat detail seolah penulisnya hadir dalam dialog tersebut, padahal antara Ibnu taimiyah dan pengarangnya terpisah dalam rentang lebih dari 670 tahun. Sekalipun begitu, dialog tersebut tidak aneh kalau saja dikarang oleh seorang ahli pembuat naskah drama.
Sekalipun tidak terdapat maraji dalam kitab tersebut, namun anehnya Hisyam Kabbani menyertakan maraji dialog yang secara jelas mirip dengan apa yang ada dalam Kitab Ibnu Taimiyah AlFaqih Al Muadzdzab dalam salah satu bukunya yang berjudul Islamic Beliefs & Doctrine According to Ahl al-Sunna: A Repudiation of “Salafi” Innovations
Diawal dialog tersebut dia menyebutkan:
Text of the Debate
From Usul al-Wusulby Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Kathir, Ibn al-Athir, and other authors of biographical dictionaries and biographies have transmitted to us this authentic historical debate. It gives an idea of the ethics of debate among the people of learning. It documents the controversy between a pivotal personality in tasawwuf, Shaykh Ahmad Ibn Ata’ Allah al-Iskandari, and an equally important person of the so-called “Salafi” movement, Shaykh Ahmad Ibn ‘Abd al-Halim Ibn Taymiyya during the Mamluke era in Egypt under the reign of the Sultan Muhammad Ibn Qalawun (al-Malik al-Nasir).
Namun setelah ditelusuri terdapat kesalahan fatal diantaranya;
  1. Ibnu Athir (baca dalam bahasa Indonesia ibnu Atsir) telah Wafat tahun 630 hijriah sedangkan Ibnu Taimiyah baru dilahirkan tahun 661 Hijriah
  2. Ibnu katsir juga tidak menyebutkan cerita tersebut dalam kitabnya Albidayah Wannihayah, malah informasi yang didapatkan dari kitab tersebut justeru makin melemahkan validitas dialog tersebut. Disebutkan bahwa Ibnu taimiyah memang pernah Ke Iskandariyah untuk menjalani hukuman penjara pada tahun 707 Hijriah dan dibebaskan sebelum tahun 709 Hijriah. Beliau memang sempat kembali Mengunjungi iskandariyah di Mesir pada bulan Syawwal tahun 709 Hijriah, namun sayangnya ibnu Athoillah telah Wafat pada bulan Jumadil Akhir tahun yang sama. Artinya terpaut 4 bulan dari kedatangan Ibnu Taimiyah ke Mesir, Apakah dialog ini terjadi antara ibnu taimiyah dan Arwahnya Ibnu Athoillah?
  3. Dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi tahun 707 Hijriah, justeru ibnu katsir menyebutkan bahwa Ibnu Athaillah merupakan biang keladi yang melaporkan Ibnu taimiyah kepada sulthan dan beliau dijebloskan kepenjara karenanya, sedangkan dialog tersebut sama sekali tidak menampakkan bahwa Ibnu Athaillah pernah bertemu dan mengusulkan agar Ibnu taimiyah dijebloskan ke penjara.
Ketiga: keanehan konten dialog
Dalam dialog tersebut baik dikitab asli maupun di buku Hisyam Kabbani disebutkan bahwa ibnu Athaillah banyak membela Ibn Arabi dan Ibnu Taimiyah hanya menanggapi dengan mengatakan
You have spoken well if only your master were as you say, for he would then be as far as possible from unbelief. But what he has said cannot sustain the meanings that you have given in my view
Artinya:
“Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.”
Bagi siapapun yang menggeluti Kitab-kitab Ibnu Taimiyah niscaya Ia akan menemukan bahwa Ibnu Taimiyah amat bersemangat dalam memperingatkan kaum Muslimin dari bahaya paham kafir ibnu Arabi dan tak pernah diriwayatkan bahwa beliau mementahkan kecaman serta pengkafirannya terhadap ibnu Arabi. Beliau telah menulis panjang lebar sebuah risalah khusus tentang ibnu Arabi sebagai bantahan terhadap keyakinannya yang menyatakan bahwa Fir’aun termasuk mukmin. Syaikh Abdurrahman bin Abdul khalik telah menulis sebuah kitab kecil tentang pertentangan antara ibnu Taimiyah dan Ibnu Arabi terkait paham wihdatul wujud yang dipeluk oleh Ibnu Arabi. Dalam Majmu Fatawa disebutkan bahwa Ibnu Taimiyah telah mengkafirkan Ibnu Arabi sekalipun begitu banyak kutipan kata-kata mutiaranya yang membuatnya lebih dekat dengan Islam.
Dalam halaman lain di juz yang sama beliau mengecam Hulul, ittihad, dan sejensnya sebagai keyakinan yang  lebih buruk daripada Aqidah Nasrani dan merupakan Zindik, keluar dari islam, dan wajib dibunuh.
Dalam dialog tersebut baik dikitab asli maupun di buku Hisyam Kabbani juga disebutkan jawaban ibnu Taimiyah :
Ibn Taymiyya: In the hadith the Prophet, on him be peace, said: “I am the city of knowledge and ‘Ali is its door.”7 Sayyidina ‘Ali is the one mujahid who never went out to battle except to return victoriously. What scholar or jurist who came after him struggled for the sake of Allah using tongue, pen and sword at the same time? He was a most accomplished Companion of the Prophet — may Allah honor his countenance. His words are a radiant lamp which have illumined me during the entire course of my life after the Qur’an and Sunna. Ah! one who is ever short of provision and long in his journeying.
Artinya :
IBN TAYMIYAH: Dalam salah satu haditsnya, rasul saw bersabda: “Saya adalah kota ilmu dan Ali lah pintunya”. Sayyidina Ali adalah merupakan seorang mujahid yang tak pernah keluar dari pertempuran kecuali dengan membawa kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha sesudahnya yang mampu berjuang demi Allah menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus? Dialah sahabat rasul yang paling sempurna-semoga Allah membalas kebaikannya. Ucapannya bagaikan cahaya lampu yang menerangi sepanjang hidupku setelah al quran dan sunnah. Duhai! Seseorang yang meski sedikit perbekalannya namun panjang perjuangannya.
Ibnu Taimiyah adalah seorang Ahlussunnah yang mengakui bahwa Ali memiliki banyak keutamaan, namun Jawaban ibnu taimiyah ini cukup aneh, karena dalam Majmu fatawa dan Minhajussunnah beliau justeru menegaskan kedhaifan hadits ini bahkan menganggapnya Maudhu. Beliau mengatakan dalam Majmu fatawa 18/375
ومما يرونه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: ( أنا مدينة العلم وعلي بابها ).. فأجاب: هذا حديث ضعيف , بل موضوع عند أهل المعرفة بالحديث
‘termasuk yang mereka anggap dari nabi Shallallahu Alaihi Wasallam adalah bahwa beliau bersabda: saya adalah kota Ilmu sedangkan Ali adalah Pintunya
Maka ibnu taimiyah menjawab: hadits ini dhaif bahkan Palsu berdasarkan kalangan ahli yang mengetahui hadits.
Saya telah mencoba untuk mencari pendapat pembela Hisyam Kabbani dan Abdurrahman As Sarqawi terkait dengan validitas cerita Ini, namun mereka hanya menampilakan cerita tanpa mampu menghadirkan maraji yang dapat ditelusuri untuk membuktikan keotentikan cerita yang mereka sebarkan ini. Maraji yang ditampilkan oleh Hisyam Kabbani justeru makin menambah kebohongan cerita Ini
Wallahu a’lam
Semoga bermanfaat


[1] Silahkan membaca lebih lanjut tentang Abdurrahman Al syarqawi dalam situs www.alkashf.net
Ibnu Taimiyah Al Faqih Al Muadzdzab

Taubatkah Ibnu Taimiyah ke Dalam Aqidah Asy’ariyah?

Suatu hal yang membingungkan banyak orang adalah disebutkan pada sebagian sumber bahwa Syaikhul Islam Rahimahullah telah menulis sebuah surat yang didalamnya terdapat aqidah yang menyalahi apa yang ia dakwahkan dan fatwakan sepanjang hidupnya, bahkan menjadi sebab ia dimasukkan kedalam penjara.
Maka kami katakan sebagai ulasan dan Sanggahan bagi Siapapun yang telah diombang –ambing oleh hawa nafsu :
Cerita rujuknya beliau (kedalam aqidah Asy’ari. Pent) bisa didapatkan dari :
  • Muridnya-Ibnu Abdil Hadi- (Wafat tahun 744 Hijriah) Seperti terdapat pada (Uqududduriyyah: 197) yang menukil dari Az Zahabi
  • Az Zahabi (Wafat tahun 748 Hijriah) –muridnya- seperti yang telah dinukil oleh Ibnu Abdil Hadi diatas:
Lafadznya adalah sebagai Berikut
“….terjadi perkara yang panjang, kemudian dikirim surat Sultan ke Syam untuk menjebloskannya ke penjara, maka dibaca didepan banyak Orang, maka orang-orang menjadi sedih. Ia dipenjara satu tahun setengah (yaitu pada tahun 707 Hijriah) kemudian dikeluarkan, dan ia diminta untuk menulis surat, diancam dan dijanjikan untuk dibunuh jika tidak menulisnya. Ia bermukim di Mesir membacakan Ilmu dan manusia berkumpul disisinya.”
  • Ibnul Muallim (Wafat tahun 725 Hijriah) di dalam kitab “Najmul Muhtadi wa Rajmil Mubtadi” (Naskah di Paris Nomor 638) dan Nuwairi (Wafat tahun 733 Hijriah) didalam Kitab Nihayatul Arab-lihat Kitab Aljami’ lishirathi syaikhil Islam Ibnu Taimiyah hal :181-182-, pada kitab tersebut diterangkan Bahwasanya Majelis (pertobatan, pent) tersebut setelah kedatangan Amir Husamuddin Muhinnan (Rabiul Akhir 707 Hijriah) dan Syaikhul Islam dibebaskan hari Jum’at tanggal 23  Rabiul Awwal 707 Hiriah.
Kemudian An Nuwairy menukil kandungan surat tersebut yang menceritakan apa yang terjadi, Bahwa (Syaikhul Islam) telah menyebutkan bahwa dia adalah “Asyariy”, dan meletakkan Kitab Asy’ari diatas kepalanya, serta ruju pada beberapa masalah (arsy, Qur’an, nuzul, dan Istiwa) dari mazhabnya –ahlussunnah-. Surat tersebut tertanggal 25 Rabiul Awal 707 Hijriah.
Kemudian diadakan majelis berikutnya, dia (syaikhul Islam) menulis mirip dengan tulisan sebelumnya pada Rabiul Akhir 707 Hijriah dan ia disumpah
  • Ad Duwadi (Wafat setelah tahun 736 H) menyebutkan dalam Kitab “Kanzud durar” bahwa mereka mengadakan majelis berikutnya pada tanggal 12 Rabiul akhir 707 Hijriah setelah kepergian amir Husamuddin, dan terjadi kesepakatan untuk merubah lafadz-lafadz tentang Aqidah dan berakhirnya majelis dalam Kebaikan.
  • Ibnu Rajab (Wafat tahun 795 H) menyebutkan Dalam Kitab Dzail alat thabaqatil hanabilah mirip dengan yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Hadi pada Kitab Al Uqud. Kemudian ia berkata : “telah menyebutkan Az Zahabi dan Al Barzali dan lain-lain bahwa Syaikh telah menulis sebuah surat secara Mujmal yang berisi perkataan dan lafadz ketika ia di Ancam untuk dibunuh”
  • Ibnu Hajar (Wafat Tahun 752 H) dalam Kitab ad durarul Kaminah mirip dengan apa yang disebutkan oleh An Nuwairi dalam Kitab “Nihayatul Arab” kemudian Ibnu Hajar mengaitkan nukilan tersebut kepada Tarikh Al Barzaliy.
  • Ibnu Taghri bardi (Wafat tahun 874 H) dalam kitab Al Minhal As Shufi mirip dengan apa yang disebutkan Oleh ibnu  Hajar. Konteks penukilan menunjukkan bahwa Ia menukil dari kitab Kamaluddin bin Zamlakani-permusuhannya dengan syaikhul islam amat terkenal-. Didalam kitab tersebut terdapat biografi Syaikhul Islam, Dia juga telah  menukil dari kitab an Nujum Az Zahirah.
  • Adapun Barzaliy (Wafat tahun 739 H)-Sahabatnya- tidak menulis sama Sekali kejadian-kejadian tersebut pada tahun-tahun tersebut.  (Aljami’ lishirathi syaikhil Islam Ibnu Taimiyah: 213-214)[1]
  • Ibnu katsir hanya menyebutkan Kisah yang terkait dengan  pertobatan tersebut Pada peristiwa yang terjadi pada tahun 706 Hijriah tanpa menyebutkan kelanjutannya dengan cerita sebagai berikut:” dan pada malam Iedul Fithri al- Amiir menghadirkan Saifuddin Salaar perwakilan Mesir, 3 hakim, dan sekelompok Fuqaha’. Tiga hakim tersebut adalah dari madzhab Asy-Syafi’I, al-Maaliki, dan alHanafy, sedangkan fuqaha’ yang hadir adalah Al-Baaji, Al-Jazarii, dan An Namrowy, dan mereka mengharapkan agar Syaikh Taqiyuddin bin Taimiyyah dikeluarkan dari penjara. Sebagian hadirin mempersyaratkan beberapa syarat, di antaranya : beliau harus ruju’ dari sebagaian aqidah dan mereka mengirim utusan agar beliau hadir di tempat itu dan berbicara kepada mereka. Tetapi beliau menolak hadir (ke majelis tersebut) dan berketetapan hati (untuk tidak hadir). Utusan itu kembali sampai 6 kali. Beliau tetap kokoh pada pendirian untuk tidak hadir, tidak menoleh pada mereka, dan tidak menjanjikan apapun. Maka majelis itupun bubar dan merekapun kembali tanpa mendapat balasan”.Cerita tersebut mengesankan bahwa penggalan kisah pertobatan ini memang ada, namun akhir dari kisah tersebut adalah justeru menguatkan pendapat bahwa Ibnu Taimiyah Justeru menulis Surat yang mengokohkan Aqidahnya, bukan Surat yang menyatakan Bahwa dia Adalah Asy’ari. Ibnu katsir tidak mengisyaratkan Penulisan surat disini tapi ditempat lain disebutkan bahwa Ibnu Taimiyah menulis jawaban singkat terhadap undangan pertobatan dan menulis bantahan rinci dalam Kitab yang kemudian dinamakan Tis’iniyat. Akan datang penjelasan tentang sebab ditulisnya kitab ini disisi ketiga tertolaknya  kisah akhir pertobatan Ibnu Taimiyah. Dari uraian diatas jelaslah bahwasanya :
    1. Sebagian ahli sejarah tidak menyebutkan Kisah tersebut dan juga sama sekali tidak ditulis
    2. Sebagian dari ahli sejarah hanya mengisyaratkan adanya kisah tersebut tanpa merinci surat yang ditulis dan atau menyebutkan bahwa penulisan surat tersebut disertai Intimidasi dan ancaman pembunuhan.
    3. Sebagian dari Ahli sejarah ada yang merincinya dan menyebutkan teks surat tersebut, tetapi tanpa menyebutkan bahwa penulisan surat disertai intimidasi dan ancaman pembunuhan.
    Dari uraian tersebut kita bisa mengungkapkan bahwa Sesungguhnya ibnul Muallam dan An Nuwairi telah menyendiri diantara orang-orang yang hidup sezaman dengan Syaikhul Islam tentang permasalah ruju’nya beliau dari konteks tulisannya. Dan itu diikuti oleh sebagian Ahli Sejarah.
    Oleh karena itu,dari isu ini dapat diambil salah satu sikap berikut:
    1. Kita mendustakan semua yang telah disebutkan oleh para ahli sejarah baik secara global maupun terperinci,dan kita katakan bahwa semua itu tidak mungkin pernah terjadi
    2. Kita menetapkan pokok Kisah tersebut, tanpa menetapkan apapun terkait ruju’ dari aqidah , dan tidak menetapkan tulisan yang penyelisihannya jelas dengan apa yang telah didakwahkan oleh Syaikhul Islam sebelum tanggal tersebut dan setelahnya.
    3. Kita menetapkan seluruh tulisan yang Ibnul Muallim dan An Nuwairi telah menyendiri terkait masalah ruju dan surat.
    Sikap pertama  menusuk dada Sendiri! sedangkan Sikap ketiga sama saja dengan menetapkan penyendirian dan keganjilan serta mendahulukan keduanya atas pendapat lain  yang masyhur dan lebih banyak.
    Yang tsabit berdasarkan pemeriksaan dan tarjih adalah sikap yang kedua: yaitu Syaikhul Islam telah menulis ungkapan secara global setelah diancam dan diintimidasi. Tetapi didalam ungkapan tersebut tidak terdapat kata rujuk dari Aqidahnya, tidak melakukan lelucon terhadap aqidah yang bathil, dan tidak menulis hal itu seluruhnya.
    Hal tersebut dikarenakan beberapa sebab yang dapat dilihat dari 3 sisi
    1. Riwayat cerita
    Dari periwayatan tersebut, orang-orang yang tidak berpihak kepada Ibnu Taimiyah menggunakan riwayat dari Ibnul Muallam, An Nuwairy dan Ibnu Hajar yang menukil dari Tarikh Ar Barzaly tanpa sama sekali mempedulikan riwayat-riwayat lain yang bertentangan atau berbeda dengan riwayat tersebut.
    Khusus untuk Ibnu Hajar, kemungkinan beliau salah menukil atau menukil dari orang lain, karena dalam Tarikh Al Barzaly tidak disebutkan cerita tersebut, justeru Ibnu Rajab mengatakan bahwa Al Barzaly (beliau tidak menyebutkan kitab Tarikh ) dan juga Az Zahabi menyebutkan penggalan kisah yang mengatakan bahwa hal itu terjadi dibawah paksaan dan tanpa ada pertobatan kecuali kata-kata global saja.
    Jika kita membandingkan riwayat-riwayat diatas, maka jelaslah kualitas periwayatan pihak-pihak yang mendukung ibnu Taimiyah lebih unggul karena terdiri dari para Huffadz yang telah disepakati dan juga sezaman dengan Ibnu Taimiyah, artinya riwayatnya lebih ‘ali[2]. Adapun Ibnu Hajar, beliau menyalahi periwayatan Arbarzaly, Az Zahabi, Ibnu Abdil Hadi dan juga Ibnu Rajab. Lagipula beliau menukil cerita tersebut karena tidak Muasharah dengan Ibnu Taimiyah dan penukilannya terlihat Syadz[3].
    2.   Realitas setelah Peristiwa tersebut
Sisi ini menguatkan sikap kedua berdasarkar fakta-Fakta berikut:
    • Tulisan ini menyelisihi aqidah Syaikh yang beliau dakwahkan dan perjuangkan sepanjang hidupnya, sebelum kejadian tersebut dan sesudahnya.
    • Tidak terdapat sedikitpun jejak didalam kitab dan karangannya yang menunjukkan beliau telah rujuk, isyarat yang menunjukkan surat  ini, atau isi dari tulisan ini. Padahal kisah tersebut terjadi sekitar tahun 707 Hijriah, sedangkan beliau Wafat tahun 728 Hijriah. Itu artinya beliau dikatakan beraqidah Asy’ari selama kurun tersebut atau sekitar 21 tahun lamanya. Ini amat mustahil karena ibnu Taimiyah telah mengarang banyak kitab-kitab Salafiyah setelah tahun-tahun tersebut. Kitab DAr’ut Taarrud dikarang oleh Ibnu Taimiyah sekembalinya beliau dari Mesir seperti yang telah dijelaskan oleh Muhaqqiqnya dengan bukti-bukti yang amat jelas pada Muqaddimah Kitab tersebut. Kitab tersebut sangat terkenal dan kemudian dibantah oleh oleh tokoh Asyairah yang bernama Kamaluddin bin Syarisyi, kemudian dijawab oleh Ibnu Taimiyah dengan sebuah karangan sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu Rajab,Ibnu Abdul Hadi,  Adz Dzahabi, dan Lain-lain.Kitab tersebut telah diringkas oleh Badruddin Al Hakari, seorang Qadhi bermazhab Syafii. Syaikh Rasyad Selaku Muhaqqiq berpedoman kepada ringkasan Tersebut dan sembilan naskah lainnya. naskah tersebut ada yang berbeda dan ada yang saling membenarkan. Kemudian setelah itu, Ibnu Taimiyah mengarang Minhajussunnah, yaitu salah satu kitab salafiyyahnya yang paling terkenal.
    • Syaikhul Islam Rahimahullah telah banyak mendapatkan pelecehan dalam berbagai masalah sebelum tanggal kejadian tersebut maupun sesudahnya, dipenjara karena masalah tersebut, dan dicela. Tapi beliau tidak sedikitpun diketahui ruju dari pendapatnya sedikitpun. Paling-paling beliau hanya berhenti berfatwa sebentar, kemudian kembali melakukan hal itu dan berkata: “Saya tidak bisa menyembunyikan ilmu”, seperti pada masalah thalaq (Al uqud hal 325), Bagaimana mungkin kali ini beliau menulis surat kepada mereka apa yang bertentangan dengan Aqidah Ahlissunnah dan menyetujui Mazhab Ahli bid’ah. Keadaan musuh beliau adalah seperti yang beliau sifatkan sendiri ketika dikatakan kepada beliau:“Wahai tuanku! Sungguh telah banyak orang yang menentangmu!”Beliau berkata: “sesungguhnya mereka seperti lalat, kemudian beliau mengangkat telapak tangannya kemulutnya dan meniupnya.” (Al uqud Hal 268).Imam Adz Dzahabi mensifatkan keteguhan Syaikhul Islam didepan musuhnya-musuhnya dengan mengatakan:“…..Hingga menentangnya sekelompok Ulama Mesir dan Syam dengan penentangan yang tidak ada bandingannya… dan dia orang yang teguh tidak terbujuk dan tidak suka, malah beliau tetap mengatakan kebenaran yang pahit sesuai dengan ijtihadnya, ketajaman pikiran, dan keluasan pengetahuannya pada qaul-qaul dan sunan”
    • pemalsuan terhadap Fatwa beliau amat sering dilakukan. Ibnu katsir mengisahkan cerita penahanan Beliau dalam peristiwa yang terjadi di tahun 726 Hijriah karena berfatwa masalah Ziarah kubur yang diadukan kepada sulthan. Pengadunya mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah telah menulis surat yang isinya pengharaman untuk menziarahi kubur nabi dan orang-orang Soleh berdasarkan Ijma. Lalu Ibnu Katsir membela gurunya dengan mengatakan bahwa itu adalah pemalsuan karena Gurunya tidak berfatwa tentang keharaman Berziarah secara umum, namun yang haram adalah mengadakan safar semata-mata untuk berziarah. Adapun berziarah tanpa melakukan Safar justeru dianggap Mustahab oleh gurunya.Pemalsuan fatwa beliau  diakui banyak Huffadz diantaran Az Zahabi, Ibnu Abdil Hadi, Al barzali dan beliau sendiri didalam Majmu Fatawa dan salah satu pengakuan tersebut juga terdapat dalam Muqaddimah Kitab Tis’iniyat yang ditulis Khusus untuk membantah kalam nafsi dan Aqidah Asy’ariyah.
    • Kisah Ini terjadi Bulan Rabiul Awal tahun 707 Hijriah, sebelumnya yaitu akhir-akhir tahun 706 Hijriah beliau masih dalam penjara di Mesir dan dijanjikan pembebasan Jika mau mengubah beberapa hal terkait Aqidahnya, namun Ibnu katsir menjelaskan bahwa diakhir tahun 706 Hijriah ketika utusan dari sulthan Bolak-balik untuk mengundang beliau dan bahkan dijanjikan pembebasan, beliau tetap teguh dengan pendiriannya. Namun ia tidak menyebutkan teks perkataan dan tulisannya.
  • 3.  Riwayat dari syaikhul Islam Sendiri.
    DR Muhammad Bin Ibrahim Al Ajalan telah mentahqiq sebuah Kitab Ibnu Taimiyah yang berjudul  “At Tis’iniyyat”yaitu sebuah Kitab yang dikarang untuk membantah Aqidah Asy’ari secara rinci dan sebagian besarnya tentang kalaamunnafsi[4].
    Dari Muqaddimah Kitab Ini terlihat jelas kelengkapan peristiwa yang disebutkan oleh ibnu katsir pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di akhir Ramadhan dimalam Idul Fitri tahun 706 Hijriah terkait  adanya  utusan yang menginginkan kehadiran Syaikhul Islam dalam sebuah majelis dimana beliau diminta untuk  menarik Fatwa-fatwanya seputar Kalamullah, Jihat dan tahayyuz, dan Arsy agar sesuai dengan Aqidah Asy’ariyah dengan hadiah Pembebasannya dari Penjara.
    Namun beliau tetap teguh untuk tidak menghadiri acara tersebut dan hanya menulis jawaban ringkas dalam sebuah surat serta menulis jawaban rinci dengan menulis sebuah kitab khusus. DR Muhammad bin Ibrahim Al Ajalan memastikan Berdasarkan Awal cerita didalam Kitab tersebut bahwa Ibnu Taimiyah mulai mengarangnya pada Tahun 706 Hijriah disebabkan Oleh permintaan Untuk menghadiri majelis yang disana beliau diharapkan membuat sebuah pengakuan dan menarik fatwa-fatwa tentang Aqidah sebagaimana yang telah Saya sebutkan.[5]
    Selanjutnya diawal kitab tersebut halaman 111 diterangkan bahwa utusan tersebut tersebut sebelumnya pernah datang juga membawa tulisan dari Ibnu Makhluf yang menggambarkan Aqidah Ibnu Taimiyah, namun ternyata tulisan tersebut isinya dusta karena sesuai dengan Aqidah mereka. Ibnu Taimiyah Memarahi utusan tersebut dan menyuruh mereka berlaku Adil. Begitu seterusnya, dimana utusan-demi utusan datang untuk meminta kehadiran beliau dalam majelis yang diadakan oleh Amir pada saat itu. Namun beliau selalu menolak hadir dan hanya menulis surat namun surat beliau didustakan.[6] oleh karena itu sangat mungkin surat palsu itulah yang dibacakan dalam majelis yang tidak dihadiri oleh ibnu Taimiyah tersebut lalu dinukil oleh sebagian kecil ahli sejarah.
    Kesimpulan dari Pembahasan Ini adalah perlunya penguatan dan penggabungan beberapa cerita tentang rujuknya Beliau kepada Aqidah Asy’ari agar didapatkan kesimpulan yang adil dan Jauh dari kecurangan.
    Dari penguatan dan penggabungan riwayat-riwayat tersebut jelaslah bahwa Kita bisa menetapkan pokok Kisah tersebut, tanpa menetapkan apapun terkait ruju’ dari aqidah salaf dan tidak menetapkan tulisan yang penyelisihannya jelas dengan apa yang telah didakwahkan oleh Syaikhul Islam sebelum tanggal tersebut dan setelahnya.
    Semoga bermanfaat

    Dikutip dari Kitab “Al Jaami Lishirathi Syaikhil Islam” dengan beberapa Penambahan

    [1] Didalam kitab tarikhnya, Albarzali memang tidak menyebutkan apapun tentang surat dan rujuk, tetapi  penukilan sekelompok ahli sejarah (Ibnu Hajar dan ibru Rajab misalnya, pent) kepada kitab tersebut. Menunjukkan bahwa Albarzalli telah menyebutkan sesuatu terkait perkara tersebut. Kemungkinan dia menyebutkan pada kitab tarikhnya yang tidak diketahui, atau pada kitab lain semisal Mu’jam syuyukh.
    [2] Riwayat dengan rantai Sanad yang lebik Pendek, dan susunan sanad seperti ini merupakan nilai lebih, Karena mempermudah pemeriksaan dan meminimalisir kesalahan
    [3] Riwayat seorang Tsiqah yang menyalahi riwayat rawi lain yang lebih Tsiqah atau lebih banyak jumlahnya.
    [4] Keyakinan khas Asy’ariyah tentang kalamullah dimana mereka mengatakan bahwa Kalam itu Qadim, Menyatu dengan Dzat-Nya (Qaaimun Bidzatihi), tanpa suara dan Huruf, adapun Al Qur’an yang sekarang didunia merupakan Ta’bir atau interpretasi dari kalamullah Yang dilakukan Oleh Malaikat Jibril Alaihissalam
    [5] Lihat tarikh Ta’lif ktiab tersebut dihalaman 55 kitab Tis’iniyat
    [6] Lihat dan renungkanlah hal 109-119 rangkaian Kisah tersebut yang merupakan bukti paling kuat bahwa kisah pertobatan tersebut adalah dusta
    silahkan download bahan-bahan Artikel diatas
    التسعينية ابن تيمية

    الجامع لسيرة شيخ الإسلام

Fitnah Tajsim

Jika anda ditanya oleh seseorang “apakah Allah Berjism”? apa jawaban anda?
Jika anda jawab “yah” maka anda belum tentu benar.
Jika anda jawab “tidak”  Maka anda kemungkinan salah.
Loh kok. Mumet…. Bingung???
Apa itu Jism?
Pendapat ahli bahasa
Ibnu Mandzur berkata:
الجِسْمُ: جماعة البَدَنِ أَو الأَعضاء من الناس والإِبل والدواب وغيرهم من الأَنواع العظيمة
Aljismu: kumpulan dari badan atau anggota-anggota seorang manusia, onta, binatang berkaki empat, dan lain-lain yang merupakan bagian yang makhluk yang besar.
Para ahli bahasa hanya menggunakan istilah Jism untuk sesuatu yang berat dan padat, mereka tidak menamakan udara sebagai jism dan jasad lain halnya dengan tubuh manusia yang jelas mereka sebut sebagai jism. Pandangan ahli bahasa tentang Jism sesuai dengan firman Allah taala:
وإذا رأيتهم تعجبك أجسامهم
Artinya: Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. (QS al Munâfiqûn:4)
Dalam ayat lain Allah berfirman
وزاده بسطة في العلم والجسم
Artinya: Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.(QS albaqarah:247)
Pendapat ahli filsafat dan Mutakallimin.
Ibnu Taimiyah berkata:
Adapun ahli kalam dan para  filosof  berselisih tentang makna Jism: Sebagian dari mereka mengatakan bahwa Jism itu adalah sesuatu yang eksis, sebagian lagi mengatakan bahwa jism adalah sesuatu yang berdiri sendiri, sebagian lagi mengatakan bahwa jism adalah sesuatu yang tersusun dari atom, sebagian lagi mengatakan bahwa jism adalah sesuatu yang tersusun dari materi dan gambaran, sebagian lagi mengatakan bahwa bahwa jism adalah sesuatu yang bisa ditunjuk dengan isyarat indra, sebagian lagi mengatakan bahwa jism itu tidak tersusun dari apapun tapi ia justeru yang ditunjuk[1]
Apa yang didefinisikan oleh para mutakallimin dan ahli filsafat sama sekali tidak dikenal  dalam bahasa arab baik dalam kitab-kitab maupun syair-syair mereka. Ruh sekalipun ditunjuk, turun, dan naik serta berdiri sendiri namun tidak dinamakan sebagai jism oleh ahli bahasa oleh karena itu mereka menyebutkan istilah jism dan ruh. Disini bisa kita ketahui bahwa “dan” disini berkonsekwensi perbedaan makna (mughayarah).
Teka-teki
Jadi manakah yang anda pilih ketika menjawab yah atau tidak?
Jika dinafikan, lalu bagaimana dengan orang yang mengatakan bahwa jism itu sesuatu yang bisa ditunjuk, padahal Ahlusunnah dan juga Asyairah beriman bahwa Allah bisa dilihat disyurga. Padahal sesuatu yang dilihat dengan mata adalah sesuatu yang ditunjuki dengan indra.?
Jika dikatakan Allah adalah jism, lalu bagaimana dengan pendapat ahli bahasa yang mengatakan bahwa tubuh dan anggota-anggotanya adalah jism[2]?
Bingungkah anda?
Disinilah perlunya memahami sesuatu secara kompleks dan mendetail.
Ibnu Taimiyah berkata:
أما الكلام في الجسم والجوهر ونفيهما أو إثباتهما , فبدعةٌ
ليس لها أصلٌ في كتاب الله ولا سنة رسوله
ولا تكلم أحدٌ من الأئمة والسلف بذلك نفياً ولا إثباتاً . انتهى
Adapun pembicaraan tentang jism dan jawhar serta penafian dan penetapannya merupakan kebidahan yang tidak memiliki asal dari kitab Allah dan sunnah rasulnya serta tidak pernah dibicarakan oleh seorangpun dari para imam-imam Salaf dengan menafikannya atau menetapkannya.[3]
Dalam tempat lain beliau mengatakan
وأما القول الثالث : فهو القول الثابت عن أئمة السنة المحضة
كالإمام أحمد ومَنْ دونه , فلا يطلقون لفظ الجسم لا نفياً ولا إثباتاً , لوجهين :
أحدهما : أنه ليس مأثوراً , لا في كتاب ولا سنة ,
ولا أثر عن أحد من الصحابة والتابعين لهم بإحسان , ولا غيرهم من أئمة المسلمين ,
فصار من البدع المذمومة .
الثاني : أن معناه يدخل فيه حق وباطل ,
والذين أثبتوه أدخلوا فيه من النقص والتمثيل ما هو باطل ,
والذين نفوه أدخلوا فيه من التعطيل والتحريف ما هو باطل . انتهى
Dan adapun pendapat yang ketiga: itulah pendapat yang tetap dari para imam Sunnah yang murni. Seperti Imam Ahmad dan selainnya. Mereka tidak memutlakkan lafadz jism baik dalam penafian maupun penetapan karena dua hal.
Pertama: hal tersebut tidak ma’tsur baik dalam qur’an, sunnah, maupun atsar sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Tidak juga dari para imam kaum musllimin yang lain. Maka jadilah hal tersebut sebagai bid’ah yang tercela.
Kedua: maknanya yang bisa jadi haq maupun batil.
Orang-orang yang menetapkannya [secara mutlak] bisa masuk dalam penjelekkan dan penyerupaan yang merupakan kebathilan.[4]
Sedangkan orang yang menafikannya [secara mutlak] bisa masuk dalam ta’thil dan tahrif yang merupakan kebatilan.[5] [6]
Kesimpulan
Lafadz jism terkait sifat Allah adalah lafadz yang Muhtamil serta sebuah bahasan muhdats yang diada-adakan oleh para filosof dan Mutakallimun. Sebagai Ahlissunnah kita harus menghindarinya. Jika kita ditanya tentang hal ini maka Ibnu Taimiyah memberikan Jalan keluar dengan perkataannya:
فيقال لمن سأل بلفظ الجسم : ما تعني بقولك ؟
أتعني بذلك أنه من جنس شيء من المخلوقات ؟
فإن عنيتَ ذلك , فالله قد بيَّنَ في كتابه أنه لا مثل له , ولا كفوَ له , ولا نِدَّ له ؛
وقال : ( أفمن يخلق كمن لا يخلق )
فالقرءان يدل على أن الله لا يماثله شيء , لا في ذاته ولا صفاته ولا أفعاله ,
فإن كنتَ تريد بلفظ الجسم ما يتضمن مماثلة الله لشيء من المخلوقات ,
فجوابك في القرءان والسنة . انتهى
Maka direspon bagi siapapun yang bertanya dengan lafadz jism: apa yang anda maksud? Apakah yang anda maksud adalah bahwa Dia termasuk jenis dari makhluknya?  Kalau jelas begitu maksudnya, maka Allah telah menjelaskan didalam kitabnya bahwa Dia tidak serupa,setara, dan tidak bersekutu dengan apapun. Allah berfirman: Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa) ?. (QS al Nahl:17). Al Qur’an menunjukkan bahwa Allah tidak diserupai oleh apapun baik  zat, sifat, maupun perbuatannya.
Kalau yang engkau maksud dengan lafadz Jism mengandung penyerupaan Allah dengan makhluknya, maka jawaban untukmu ada didalan Alqur’an dan Sunnah.[7]
Selanjutnya beliau menegaskan:

ولهذا اتفق السلف والأئمة على الإنكار على المشبهة الذين يقولون
بصر كبصري , ويدٌ كيدي , وقدم كقدمي . انتهى
Oleh karena itu Salaf telah bersepakat untuk mengingkari Musyabbihah yang mengatakan penglihatan [Allah] seperti penglihatanku, tangan [Allah] seperti tanganku, kaki [Allah] seperti kakiku.[8]
Disini Ahlussunnah dan salaf tidak membicarakan penafian maupun penetapan jism pada Allah, begitu juga lafadz-lafadz lain yang tidak terdapat dalam al Qur’an maupun Sunnah seperti arah dan tahayyuz dan semisalnya. Tetapi Ahlussunnah menyifatkan Allah Taala sesuai dengan apa yang Ia Sifatkan bagi dirinya dalam alQur’an dan apa yang disifatkan oleh Rasulnya. Mereka tidak melangkahi alQur’an dan Hadits.
Imam al Barbahari berkata:
Tidak membicarakan rabb kecuali sesuai dengan apa yang Ia sifatkan bagi dirinya Ajja Wajalla dalam Qur’an dan yang dijelaskan oleh Rasulullah untuk para sahabatnya.[9]
Beliau juga menjelaskan bahwa lafadz-lafadz bid’ah tersebut adalah sumber bid’ah:
Ketahuilah! Semoga Allah memuliakanmu! Kalau saja manusia menahan diri dalam perkara-perkara muhdats, tidak melangkah lebih jauh, dan tidak melahirkan kalimat-kalimat yang tidak pernah datang dari atsar Rasulullah juga sahabatnya,maka niscaya tidak akan ada kebid’ahan[10]
Al Hafidz Abdul Ghani al Maqdisi Rahimahullah menyetujui kaidah seperti ini dengan mengatakan:
“Termasuk Sunnah yang tetap adalah diam dari sesuatu yang tidak datang nashnya dari Rasulullah Shallallâhu alaihi Wasallam atau yang telah disepakati oleh kaum muslimin untuk memutlakkannya dan meninggalkan perselisihan dalam penafian dan penetapannya. Begitu juga pada perkara yang hanya bisa ditetapkan dengan nash Syari’,dan juga pada perkara yang hanya bisa dinafikan dengan dalil Sami’ [11]
Tulisan dan nukilan Ibnu taimiyah juga menjadi bukti bahwa beliau bukanlah seorang mujassimah, Justeru ketika Asyairah membatasi bahwa jism itu adalah satu hal, ternyata ibnu taimiyah telah merinci dan menyikapi lafadz jism dari berbagai isu yang beredar tentang jism menurut berbagai firqah dan mengambil solusi yang wasath.
Semoga bermanfaat


[1] Majmû’ Fatâwa Syaikhul islam Ibnu Taimiyah III/32
[2] Sekte karamiyah merupakan golongan Mujassimah yang berkeyakinan Allah adalah Jism dalam artian bertubuh dan bertulang. wal iyadzubillah
[3] Dar ut taahrudh al aql wan naql 4/146
[4] Kalau kita mengatakan Allah jism maka bisa jadi kita akan seperti karamiyah yang menetapkan bahwa Allah adalah seperti tubuh yang terdiri dari tulang dan daging. Waliyadzubillah
[5] Ada yang berpendapat bahwa jism itu yang ditunjuk padahal sesuatu yang terlihat itu adalah sesuatu yang ditunjuki oleh indra. Dengan menafikannya secara mutlak maka bisa jadi kita seperti mu’tazilah yang tidak mengimani bahwa kita bisa melihat Allah diakhirat kelak.
[6] Minhajussunnah Nabawiyyah I/204
[7] Dar ut taahrudh al aql wan naql 10/307
[8] Dar ut taahrudh al aql wan naql 10/309
[9] Syarhussunnah hal. 69
[10] Syarhussunnah hal. 105
[11] Aqâid Aimmatusshalaf hal 132

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management