“Aku ketika itu berada di kota Damaskus, maka aku menghadiri (ceramah) beliau pada hari jum’at dan beliau sedang memberikan nasehat kepada kaum muslimin di atas mimbar Masjid Jami’, dan mengingatkan mereka. Diantara yang beliau ucapkan ketika itu adalah: ‘Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia seperti turunnya aku ini, kemudian ia turun satu tingkat dari mimbar (masjid Jami’).”
Pertama: Bahwa Ibnu Batutah tidak pernah mendengar dari Ibnu Taimiyah dan tidak pernah berkumpul dengannya. Karena, tibanya Ibnu Batutah di kota Damaskus adalah pada hari kamis tanggal 19 Ramadhan yang barakah tahun 726 H. Sedangkan Ibnu Taimiyah masuk penjara Qol’ah Damaskus pada awal-awal bulan Sya’ban ditahun tersebut. Beliau tinggal disitu sampai diwafatkan Allah Ta’ala, yaitu pada malam Senin tanggal 20 Dzul Qo’dah tahun 728 H. Bagaimana mungkin Ibnu Batutah melihatnya sedang menasehati kaum muslimim diatas mimbar Masjid Jami’, padahal beliau ketika itu sedang dipenjara?!
Kedua: Syaikhul Ibnu Taimiyah sama sekali tidak pernah memberikan nasehat kepada kaum muslimin diatas mimbar Masjid Jami’, beliau hanya duduk diatas kursi.
Al-Hafizh Adz-Dzahabi (beliau adalah murid senior Ibnu Taimiyyah) berkata: “Telah tersiarlah keadaan beliau, dan membahana nama baik beliau. Beliau mengajar tafsir Al-Kitabul ‘Aziz (Al-Qur’an) dari hafalan beliau pada setiap hari jum’at diatas kursi.”
Ketiga: Sesungguhnya apa yang disebutkan Ibnu Batutah diatas berbeda dengan apa yang disebutkan Ibnu Taimiyah didalam sekian banyak kitab-kitabnya, yaitu wajib menetapkan nama dan sifat untuk Allah dengan penetapan yang tidak mengandung penyerupaan. Dan wajib membersihkan nama dan sifat Allah dari penyerupaan terhadap sifat makhluk dengan bentuk pembersihan yang tidak mengandung pengingkaran.
Dan apa yang disebutkan Ibnu Batutah diatas adalah penyerupaan (sifat Allah dengan sifat makhluk) yang sangat ditentang oleh Ibnu Taimiyyah dalam sekian kitab-kitabnya.
Beliau berkata didalam kitabnya Al-‘Aqidah Al-Wasitiyah:
Maka mereka (Ahlus Sunnah) tidak meniadakan dari Allah apa yang telah Dia sifatkan untuk diri-Nya sendiri, tidak juga memalingkan pembicaran dari tempatnya, dan tidak membelokkan makna nama-nama Allah dan ayat-ayat-Nya. Mereka juga tidak menanyakan bagaimana? Tidak pula menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Karena, Allah Subhanahu tidak ada yang serupa, menandingi, dan menyamai-Nya. Dan Tidak boleh mengkiaskan Allah dengan makhluk-Nya Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia lebih tahu tentang diri-Nya dan diri selain-Nya. Dia lebih benar ucapan-Nya dan lebih indah perkataan-Nya daripada makhluk-Nya.”
Wallahu a’lam
Sumber rujukan:
Min A’lamil Mujaddidin, karya Syaikh Sholih Al-Fauzan
Al-’Aqidah Al-Wasitiyah
0 komentar:
Posting Komentar