Senin, 08 Oktober 2012

Seputar Atsar ‘Muawiyah Melaknat Imam Ali Ra’. Benarkah?

Membicarakan adanya perselisihan personal di antara para sahabat Rasulullah Saw, kalau hal tsb memang benar-benar ada, tidaklah akan menambah kemampuan kita untuk mendekatkan diri kita kepada Allah Swt. Bahkan kalangan ulama’ Ahlus Sunnah selalu menganjurkan untuk tidak membicarakannya. Mengapa? Karena Rasulullah Saw sudah bersabda bahwa generasi yang terbaik adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya (Sahih Bukhari 2651).
Ibnu Qudamah al-Maqdisy dalam kitab al-Lum’ah menyatakan agar kita selalu meyayangi para sahabat Nabi Saw, selalu mengingat dan mencontoh perjuangan mereka serta selalu istighfar untuk mereka.
Bukankah kita ingin agar termasuk hamba Allah yang selalu mendoakan orang-orang mukmin? Allah berfirman: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian ada dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (al-Hasyr 10).
Kita dengan hati teguh berdoa agar jangan ada dengki di dalam lubuk hati kita terhadap orang-orang sebelum kita. Karena itu kita harus selalu berusaha menghapus rasa benci dan curiga terhadap sahabat Nabi. Rasulullah Saw juga telah melarang untuk mencaci para sahabat beliau. Nabi Saw bersabda: Janganlah kalian mencaci sahabatku. Kalau seandainya salah seorang dari kamu sekalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, tidak akan bisa menandingi infak para sahabatku yang hanya sebesar Mud atau setengahnya. (Sahih Bukhari 3673).
Maksudnya adalah bahwa walaupun nilai mutlak apa yang diinfakkan oleh sahabat Nabi Saw adalah kecil tetapi itu sangat besar nilainya disisi Allah. Lebih-lebih sahabat yang telah menjadi muslim sejak sebelum Fathu Makkah. Seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali Radhiyallaahu anhum dll. Pujian ini terdapat dalam firman Allah Swt: Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempunyai langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum Fathu (Makkah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Hadiid 10)
Para prajurit yang ikut berjihad di perang Hunain tepat sesudah Fathu Makkah mendapat pujian Allah Swt. ‘Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir. (at-Taubah 26). Tercatat dalam sejarah bahwa Mu’awiyah Ra adalah salah satu prajurit dalam perang ini. Secara otomatis, berarti Mu’awiyah juga mendapat pujian Allah Swt. Lebih-lebih beliau juga termasuk salah satu penulis al-Qur’an.
Imam adz-Dzahaby dalam kitab Siyaru A’laamin Nubalaa’ menyatakan bahwa hendaknya kita tidak membicarakan perselisihan yang terjadi pada zaman dahulu, seperti yang terjadi antara Imam Ali Ra dengan Mu’awiyah. Walaupun peristiwa tersebut tertulis di buku-buku sejarah, namun umumnya didukung dengan data sumber sejarah yang lemah, bahkan palsu.
Kalau ada orang yang melemparkan tuduhan bahwa Mu’awiyah Ra pernah memerintahkan untuk mencaci Imam Ali Ra, maka kita tidaklah perlu membuktikan bantahan terhadap tuduhan tsb. Justru yang menuduh itulah yang wajib untuk menunjukkan bukti yang sahih. Mungkin dia akan berdalih bahwa hal ini tidak perlu bukti lagi lebih lanjut, toh sudah tertulis dengan jelas di buku-buku Tarikh, Thabary misalnya.
Walaupun demikian, kita masih perlu untuk minta kepada orang yang melemparkan tuduhan, suatu bukti yang lebih kuat yang ditulis sesaat setelah peristiwa yang dituduhkan tsb. Secara fakta buku-buku yang ditulis pada zaman Kekhalifahan Bani Umayyah tidak ada yang mencatat kejadian seperti yang dituduhkan. Kalau tuduhan tsb benar, mengapa harus berpegang kepada buku sejarah yang ditulis ±200 tahun setelah kejadiannya? Padahal saat itu sudah berganti dinasti ke Daulah Abbasiah sejak tahun 132H.
Dalam kitab al-Bidayah wan-Nihayah (284/7), Ibnu Katsir jelas-jelas menolak tuduhan ini dengan mengatakan bahwa berita tsb sama sekali tidak sahih.
Ketika Hasan dan Husein Ra bertamu menemui Muawiyah Ra, kedua putra Imam Ali Ra ini diberi hadiah 200ribu Dinar. Muawiyah Ra berkata: Tak ada seorangpun yang diberi hadiah sebesar ini. Hasan menimpali: Dan tidak ada seorang pun yang diberi hadiah lebih baik dari yang diberikan kepada kami (al-Bidayah wan-Nihayah (239/8)).
Pernah suatu saat Imam Hasan menemui Muawiyah. Ia menyambutnya: Selamat datang dengan putra Rasulullah Saw dan memberi hadiah 300rb Dinar (al-Bidayah wan-Nihayah (140/8)).
Secara logika tidak masuk akal kalau Muawiyah Ra mencaci dan menyuruh untuk mencaci Imam Ali Ra. Bukankah dia seorang khalifah yang pada Tahun Persatuan (Aamul-Jamaa’ah) 41H, Imam Hasan Ra telah berbaiat kepadanya? Bahkan penulis al-Iqdul Farid (yang lebih terkenal dengan Sohibul Iqdil Farid wafat 328H) mencatat peristiwa pertemuan antara Muawiyah Ra dengan Imam Hasan Ra. Saat pertemuan tsb, Muawiyah Ra menjabat tangan Imam Husein Ra seraya bertanya kepada hadirin pembesar Khilafah Bani Umayyah: Siapakah orang yang paling mulia ayahnya, ibunya, kakeknya dan neneknya? Mereka menjawab: Amirul Mu’minin lebih tahu. Dengan menggenggam tangan Imam Hasan Ra. Muawiyah berkata: Inilah orangnya!, ayahnya Ali bin Abi Thalib, Ibunya Fatimah Bint Muhammad Saw, kakeknya Rasulullah Saw dan Neneknya Khadijah Ra.
Dalam Sahih Muslim (No. 2404) ada hadits yang sering menimbulkan kesalahpahaman. Haditsnya sbb: Dari Amir bin Sa’d bin Abi Waqqas, dari Sa’d bin Abi Waqqas berkata: Muawiyah bin Abu Sufyan memberi tugas kenegaraan kepada Sa’d bin Abi Waqqas. Muawiyah berkata: Apa yang membuat engkau tidak mau melaknat Abu Turaab (Imam Ali)? Sa’d menjawab: Tidakkah anda ingat terhadap 3 hal yang disabdakan Rasulullah Saw, maka saya tidak akan pernah melaknat Imam Ali. Bila seandainya saya terpilih untuk menduduki salah satu posisi tsb, saya benar-benar lebih senang dari pada kekayaan harta dan ternak yang melimpah.
  • Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda kepada Ali untuk tidak ikut ke medan perang. Ali Ra berkata: Wahai Rasulullah apakah engkau tinggalkan saya untuk bersama kaum perempuan dan anak-anak? Rasulullah Saw bersabda: Hai Ali! tidakkah kamu ridha agar engkau terhadap diriku seperti posisi Harun terhadap Musa, hanya saja tidak ada kenabian sesudahku.
  • Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda pada perang Khaibar: Sungguh saya akan serahkan bendera komando kepada seorang pemuda yang mencintai Allah dan RasulNya serta dicintai oleh Allah dan RasulNya. Maka kami pun berharap-harap agar terpilih untuk menjadi panglima Khaibar. Rasulullah Saw minta untuk dipanggilkan Ali. Ternyata Ali sakit mata. Rasulullah Saw memberinya obat dengan air ludah beliau kemudian menyerahkan bendera komando kepadanya. Allah pun memberi kemenangan kepada kaum muslimin di Khaibar.
  • Yang ketiga adalah tatkala turun Ali-Imra 61 (Katakanlah Mari kita mengajak anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu dst), Rasulullah mengajak Ali, Fatimah, Hasan dan Husein dan beliau bersabda: Ya Allah merekalah keluargaku.
Hadits ini sama sekali tidak menyatakan bahwa Muawiyah menyuruh Sa’d bin Abi Waqqas untuk melaknat Ali Ra. Tetapi Muawiyah justru hendak membeberkan sebab-sebab yang menjadi halangan bagi Sa’d untuk mencaci Ali Ra. Kalau toh Muawiyah menyuruh Sa’d, mengapa tidak ada cerita tentang kemarahan Muawiyah ketika Sa’d menolaknya? Sudah tentu diamnya Muawiyah ini menandakan bahwa Muawiyah setuju dengan keterangan Sa’d.
Masalah ini bisa dilihat juga dalam Syarah Sahih Muslim oleh Imam Nawawy (175/15).
Sedang Atsar yang dimuat dalam kitab-kitab Tarikh tentang masalah ini ternyata semuanya bersumber kepada Ali bin Muhammad di dalamnya mengandung kelemahan karena dia mengambil dari Luth bin Yahya (Abu Makhnaf), yang menurut Siyaru A’laamin Nubalaa dan Mizanul I’tidal bahwa Abu Makhnaf tidak bisa dipercaya (bukan Tsiqah), Matruk, Taalif umumnya dia meriwayatkan dari yang dha’if serta majhul.
Selain itu periwayatan yang lemah ini juga menuduh bahwa Imam Ali melakukan sebaliknya. Padahal perbuatan melaknat terhadap sesama muslim adalah suatu perbuatan yang tidak mungkin dilakukan oleh Imam Ali. Namun mengapa yang dibesar-besarkan hanya periwayatan tentang Muawiyah terhadap Imam Ali? Mestinya sejak awal periwayatan terhadap keduanya harus jangan diterima seperti yang diungkap diatas.
(Ditulis ulang oleh Fatchul Umam. Sumber ‘Syubuhaat wa abaathiil haula Muawiyah’, Siyaru A’lamin Nubalaa, Syarah Nawawy dll). 30 Mei 2012.

Muawiyah Ra mencela Ali bin Abi Tholib Ra adalah riwayat palsu


 Riwayat yang disebarkan oleh kaum sesat Syiah Rafidhoh  bahwa Muawiyah Ra dan bani Ummayah secara umum melaknat Ali bin Tholib adalah riwayat yang tidak benar. Hal, ini diungkapkan anggota Komisi dan Pengkajian MUI Pusat, ustadz Fahmi Salim, MA.
"Cerita tentang Muawiyah dan bani Umayyah melaknat Ali selama 70 tahun  itu riwayat-riwayat palsu semua," kata ustadz Fahmi Salim kepada arrahmah.com di kantor MUI Pusat, Jl. Proklamasi, Jakarta Selasa (24/1).
Beliau menjelaskan, bahwa riwayat-riwayat tersebut hanya ada di kitab-kitab sejarah yang ditulis di masa-masa akhir atau belakangan seperti Al Kamil fit Tarikh, Tarikhul khulafa As Suyuti, dan Mu'jamul Buldan.  Bahwa asal muasal berita yang mengatakan bahwa kebijakan Bani Umayyah mencela Imam Ali ibn Abi Thalib di mimbar-mimbar jumat dan baru dihilangkan itu oleh ‘Umar ibn Abdul Aziz, bersumber dari Ibnu Sa'ad dalam kitab Thabaqat, yang ia riwayatkan dari Ali ibn Muhammad al-Madaini dari gurunya Luth ibn Yahya. Berita semacam ini tidak benar dan sudah diteliti oleh Dr. Ali Muhammad Shallabi dalam bukunya Al-Khalifah Al-Rasyid Umar bin Abdul Aziz.
"Riwayatnya tidak ada yang shohih. Ali bin Muhammad Al Madaini dan Luth bin Yahya sering meriwayatkan dari Syiah," ujar ustadz Fahmi yang menjelaskan bahwa Ibnu Sa'ad bukan Syi'ah, hanya saja tasahul (terlalu mudah) dalam mengambil dari riwayat syi'ah.
Sambung Ustadz Fahmi, cerita tersebut memang sering diexpose oleh syi'ah, untuk menunjukkan bahwa bukan mereka saja yang senang mencela para sahabat.
"Ini semacam counter attack dari Syi'ah, bahwa Sunni juga mencaci maki Ali bin Abi Tholib," tukasnya.
Sebagian ulama mengkafirkan Syi'ah Istna Asyariyah, menurutnya bukan karena mencaci maki sahabat, akan tetapi ulama mengkafirkan mereka karena doktrin mereka tentang tahrif (adanya perubahan) pada Al-Qur'an dan doktrin Imamah.
"Mencaci maki sahabat hanya dampak dari keyakinan Imamah Syiah, itu furuiyah (cabang). Jika mereka sudah tidak meyakini Imamah, tidak akan mencela sahabat," pungkasnya.
Dr. Ali Muhammad Shallabi sendiri dalam bukunya Al-Khalifah Al-Rasyid Umar bin Abdul Aziz (Shallabi: 107) menerangkan bahwa hampir semua pakar dan imam hadis ahlisunnah menilai Ali Al-Madaini dan Luth ibn Yahya sebagai perawi yang tidak bisa dipercaya dan terbiasa meriwayatkan dari orang-orang yang lemah hafalannya dan tak dikenal (majhul).
Selain tinjauan ilmu riwayat hadis, Shallabi juga menganalisis bahwa tidak benar pula fakta puluhan tahun Imam ‘Ali dikutuk Bani Umayyah, sementara kitab-kitab sejarah yang ditulis semasa dengan daulah Umayyah tidak pernah menceritakan adanya fakta sejarah itu.
Kisah itu baru ditulis oleh para ahli sejarah mutakhir dalam kitab-kitab yang disusun pada era Bani Abbasiyah dengan motif politis, untuk menjelek-jelekkan citra Bani Umayyah di tengah umat.
Shallabi juga yakin bahwa kisah itu baru disusun dalam kitab Muruj al-Dzahab karya Al-Mas'udi (Syi'i) dan penulis syiah lainnya hingga kisah fiktif itu ikut tersusupi ke dalam kitab tarikh ahlisunnah yang ditulis belakangan seperti Ibnul Atsir dalam Al-Kamil fi Tarikh. Namun tidak ada sandaran satupun riwayat yang sahih. (bilal/arrahmah.com)

Ibnu Taimiyah dan Ta’wil

Pengantar

Cobaan bertubi sepertinya tak henti menjumpai Ibnu Taimiyah bahkan hingga lebih dari 700 tahun dari wafatnya, namun perumpaan beliau layaknya cendana yang memang harus dibakar agar tercium wanginya, dan terbukti bahwa wangi dan keagungannya tak lekang oleh zaman
.
Kali ini tuduhan aneh menyambangi beliau.
Bagaiman tidak aneh, atas dasar permusuhannya dengan Aqidah takwillah beliau keluar masuk penjara dan bahkan menghembuskan nafas terakhirnya dibalik jeruji besi didalam benteng yang kokoh.
hal ini adalah sesuatu yang umum dikalangan sahabat, murid dan musuhnya. Permusuhan beliau dengan Aqidah takwil khususnya Asya’irah tidak mungkin samar lagi. Kalaulah beliau melakukan takwil dalam memahami nash-nash terkait asma dan sifat Allah, maka apa arti permusuhan dengan orang-orang yang mempertahankan aqidah tersebut dan apapula arti dari pembelaan murid-murid beliau terhadap keyakinan gurunya itu.
Mari kita ulas keanehan ini dengan memohon taufik dan hidayah semoga pembahasan dan mungkin diskusi terkait tema ini adalah hanya mengharapkan ridho dari Allah Subhanahu Wataala.
Makna Takwil
Disini harus didudukkan makna takwil berdasarkan pendapat salaf yang diikuti oleh ibnu Taimiyah dan pengikutnya yang menjulukkan diri sebagai Salafi agar kita dapat membuat keputusan yang adil tentang sikap ibnu Taimiyah yang sebenarnya tentang Takwil
  • Takwil menurut Kholaf dan Asya’irah
Takwil dikalangan Kholaf sangat popular dengan makna:
صرف اللفظ عن الظاهر بقرينة تقتضي ذلك
Takwil adalah memalingkan sebuah kata dari Žahirnya dengan petunjuk-petunjuk yang menyertainya.
Definisi ini merupakan istilah Mutaakhirin yang berbeda dengan takwil secara bahasa dan perkataan salaf
  • Takwil Menurut Salaf dan Ibnu Taimiyah
Dalam Mukhtar Shihhâh dikatakan:
التأويل تفسير ما يؤول إليه شيئ تقتضي ذلك
Ta’wil adalah tafsir yang dikembalikan sesuatu kepadanya[1]
Dalam Lisaanul arab dikatakan bahwa ia berarti رجع و عاد yang artinya kembali[2]
Secara ringkas dalam bahasa arab kata takwil bermuara kepada dua hal:
Pertama: tempat kembalinya sesuatu, yaitu hakikat yang perkataan dikembalikan kepadanya.
sebagaiman kita tahu bahwa kalam itu bisa Khobariyah atau Thalabiyah, maka:
Takwil Khobar adalah hakikat dan kejadiannya (kejadian yang sebenarnya): Seperti dalam firman Allah :
هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ
Artinya: inilah ta’wil mimpiku yang dahulu itu
maksudnya inilah hakikat dan kejadian sebenarnya dari mimpi yang pernah dia alami[3]
Allah juga berfirman:
هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْهَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِنْ قَبْلُ
Artinya: Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al Quran itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu
Maksudnya: mereka hanyalah menunggu terjadinya hal yang sama dengan yang diberitakan oleh Allah berupa janji dan ażab
Sedangkan ta’wil Thalabiyah yang merupakan amr (perintah) dan nahy (larangan) adalah sama dengan perbuatan yang diperintahkan untuk melaksanakannya dan beramal dengannya dan juga  sama dengan larangan yang ditinggalkan. Hal ini seperti perkataan Aisyah Radiyallâhu anhu:
((كان النبيّ صلّى الله عليه وسلّم يقول في ركوعه وسجوده؛ سبحانك اللهم ربنا وبحمدك، أللهمّ اغفرلي. يتأوّل القرآن؟))
Artinya: Nabi Shallallâhu alaihi Wasallam pernah membaca:
سبحانك اللهم ربنا وبحمدك، أللهمّ اغفرلي
pada ruku dan sujudnya. (Aisyah berkata) : engkau mentakwilkan Al qur’an?
Maksudnya apakah engkau melaksanakan amalan sesuai dengan firman Allah:
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ
Artinya: maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.[4]
Kedua: takwil dengan makna tafsir
Yaitu perkataan yang digunakan untuk menjelaskan sebuah lafaz hingga dapat dipahami maknanya. Inilah yang dimaksud dari perkataan para Mufassirin تأويل قوله تعالى yang sering digunakan oleh para Mufassirin[5]. Bahkan Ibnu Jarir al Thabarî menamai kitabnya:

جامع البيان عن تأويل آي القرآن
Berdasarkan makna yang pertama maka takwil dari apa yang diberitakan oleh Allah tentang sifat dan perbuatanNya adalah sama dengan keadaan yang sebenarnya. Hal tersebut adalah hak Allah subhanahu wataala yang tidak diketahui oleh selainNya dan tidak ada celah bagi kita untuk mengetahuinya dan melingkupinya[6].
Berdasarkan makna yang pertama ini juga maka waqaf jatuh setelah kata berikut: وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ
Sedangkan berdasarkan makna kedua maka takwil tentang apa yang diberitakan Allah mengenai sifat-sifatnya yang tinggi adalah tafsir dan pemahaman makna dari apa yang Ia beritakan tentang dirinya yang memiliki sifat-sifat yang agung dan tinggi. Inipun dikenal dalam bahasa yang Allah gunakan kepada manusia dan kita pahami dengan perantaraan bahasa tersebut, namun dengan pemahaman bahwa Allah tidak sama dengan apapun baik zatNya, SifatNya, maupun perbuatannya.
Berdasarkan makna ini maka waqaf jatuh setelah kata berikut: وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ
Sebagaimana mazhab kebanyakan ulama Salaf.
Ibnu Jarîr berkata: Ahli takwil (tafsir, red) berselisih tentang takwilnya, apakah kata الراسخون menjadi athaf dari lafadz ألله yang berarti mereka dapat mengetahui ayat yang mutasyabih ataukah itu adalah isti’naf (kalimat baru selanjutnya) yang disebutkan untuk memberitakan  mereka (orang-orang yang mendalam ilmunya) yang berkata bahwa mereka beriman kepada ayat-ayat mutasyabih termasuk menyatakan bahwa pengetahuan tentang ayat-ayat tersebut hanyalah dimiliki oleh
Allah.
Sebagian dari mereka mengatakan: maknanya adalah tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah saja dengan pengetahuannya.
Adapun kata الراسخون في العلم adalah kalimat selanjutnya yang menyatakan bahwa mereka beriman kepada ayat-ayat mutasyabih dan Muhkam serta semua itu berasal dari sisi Allah. Kemudian beliau menyebutkan yang berpendapat demikin…. :  Aisyah, ibnu Abbas, urwah, Abi Nahik, dll.
Yang lain berkata:  maknanya adalah tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. dengan memiliki pengetahuan dan kedalaman ilmunya tersebut mereka tetap mengatakan “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Kemudian beliau menyebutkan yang berpendapat demikin…. :  Ibnu Abbas, Mujahid, Rabî’ bin Anas, dan Muhammad bi Ja’far bin Zubair, dll[7]
Inilah takwil yang dimaksud oleh para salaf  dan juga Ibnu Taimiyah ketika dia mengikuti mereka dalam menjelaskan beberapa makna ayat-ayat sifat.
Ibnu Taimiyah berkata:
وأما الذي أقوله الآن واكتبه وإن كنت لم اكتبه – فيما تقدم من أجوبتي وإنما أقوله في كثير من المجالس – إن جميع ما في القرآن من آيات الصفات فليس عن الصحابة اختلاف في تأويلها
وقد طالعت التفاسير المنقولة عن الصحابة وما رووه من الحديث ووقفت من ذلك على ما شاء الله تعالى من الكتب الكبار والصغار اكثر من مائة تفسير فلم أجد – إلى ساعتي هذه – عن أحد من الصحابة انه تأول شيء من آيات الصفات أو أحاديث الصفات بخلاف مقتضاها المفهوم المعروف بل عنهم من تقرير ذلك وتثبيته وبيان أن ذلك من صفات الله ما يخالف كلام المتأولين ما لا يحصيه إلا الله

Adapun yang aku katakan sekarang dan aku tulis sekalipun aku belum pernah menulisnya dalam jawaban-jawabanku  adalah bahwa semua yang ada di qur’an berupa ayat-ayat sifat tidak pernah didapat perselisihan dari sahabat seputar takwilnya.  Sungguh aku telah menelaah berbagai tafsir yang dinukil dan diriwayatkan dari para sahabat dan hadits-hadits. Aku juga telah membaca-Masya Allah- banyak dari kitab-kitab para pembesar dan Sighar lebih dari seratus tafsir, namun sampai saat ini aku belum mendapatkan satupun dari sahabat yang mentakwilkan ayat-ayat atau hadits-hadits sifat dengan tafsiran yang menyelisihi tuntutan-tuntutan makna yang dipahami dan populer. Bahkan yang aku dapat adalah persetujuan, penetapan, dan penjelasan mereka bahwasanya hal tersebut termasuk sifat-sifat Allah yang menyelisihi perkataan tukang-tukang takwil yang tidak terhitung jumlahnya.[8]
Dalam penjelasan ibnu taimiyah jelaslah bagi kita bahwa para sahabat juga melakukan takwil yang bermakna tafsir terhadap ayat-ayat sifat, namun Ibnu Taimiyah juga mengatakan:
Bahkan yang aku dapat adalah persetujuan, penetapan, dan penjelasan mereka bahwasanya hal tersebut termasuk sifat-sifat Allah yang menyelisihi perkataan tukang-tukang takwil yang tidak terhitung jumlahnya.
Point penting dalam bahasan ini adalah bahwa ta’wil dengan makna tafsir justeru memperkuat istbat atau penetapan sifat-sifat Allah. Hal ini terbukti dengan banyaknya penjelasan salaf tentang Sifat-sifat Allah misalnya Allah Ta’ala bersemayam di atas Arsy. Di dalam ayat disebutkan Ar-Rahmaanu ‘alal ‘arsy istawaa. Secara bahasa istiwa’ itu memiliki empat makna yaitu:
1. ‘ala (tinggi)
2. Irtafa’a (terangkat)
3. Sho’uda (naik)
4. Istaqarra (menetap)
Imam Bukhari membuat bab khusus tentang istiwa dengan teks berikut:
باب قوله و كان عرشه على الماء و هورب العرش العظيم قال ابو العالية استوى الى السماء ارتفع فسو هن خلقهن و قال مجاحد استوى على العرش علا على العرش
Ibnu Taimiyah juga mengatakan:
“Sesungguhnya lafadz ta’wil menurut pemahaman orang-orang yang suka bertentangan (yakni Ahlul Kalam), bukanlah ta’wil yang dimaksud dalam At-Tanzil (wahyu yang diturunkan). Bahkan bukan pula yang dikenal oleh para ulama tafsir terdahulu.
Sesungguhnya para ulama tafsir Al-Qur’an terdahulu memahami lafadz ta’wil dengan maksud tafsir. Ta’wil semacam ini dapat diketahui oleh ulama yang mengetahui tafsir Al-Qur’an. Oleh sebab itulah Imam Mujahid, imamnya ahli tafsir dan murid Ibnu Abbas, pernah menanyakan seluruh tafsir Al-Qur’an kepada Ibnu Abbas, dan Ibnu Abbas pun telah menjelaskan tafsir seluruhnya. Ketika beliau (Mujahid) mengatakan : “Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar ahlil-ilmi (Ar-Rasikhum fi Al-’Ilmi) jika memahami tentang ta’wil, maka maksud ta’wil itu adalah tafsir yang telah disebutkan pada ibnu Abbas”.
Adapun lafal ta’wil menurut At-Tanzil (wahyu yang diturunkan), maknanya adalah “hakikat”, yakni sesuatu yang menjadi asal sebuah pembicaraan. Dan itu sama dengan hakikat-hakikat yang telah diberitakan oleh Allah Ta’ala, misalnya ta’wil tentang hari akhir yang telah diberitakan oleh Allah ialah kejadian yang akan terjadi di hari akhir itu sendiri (hakikat kejadiannya). Ta’wil tentang apa yang Dia beritakan mengenai Diri-Nya itu sendiri yang Maha Suci lagi tersifati dengan sifat-sifat Maha Tinggi. Ta’wil (dalam arti hakikat) inilah yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala sendiri.
Oleh karena itulah kaum salaf mengatakan :”Istiwa’ telah dimaklumi (maknanya), sedangkan bagaimana hakikatnya itu majhul (tidak dapat diketahui)”. Untuk itu kaum salaf mengistbatkan (menetapkan) pengetahuan tentang Istiwa’. Inilah yang disebut ta’wil dalam arti tafsir, yaitu memahami makna yang dimaksud oleh suatu pembicaraan, sehingga dapat merenungi, memahami dan mengerti.
Sedangkan perkataan mereka “Al-Kaif (bagaimana hakikatnya) adalah majhul (tidak dapat diketahui). Hal ini adalah ta’wil yang hanya bisa diketahui oleh Allah semata, yaitu tentang hakikat yang tiada satu mahluk pun dapat mengetahuinya”.[9]
Adapun istilah yang digunakan oleh para Mutaakhirin dari kalangan Muatthilah berbeda dengan definisi diatas dimana mereka mengatakan bahwa takwil adalah: Memalingkan[10] lafaz dari  zohirnya dan hakikatnya kepada majaz dan apa yang berbeda dengan zohirnya dengan adanya penyertaan (Qarinah)[11]. Ini adalah istilah yang baru.
Mereka menjadikan Qarinah-qarinah untuk memalingkan makna sifat-sifat Allah dari zohirnya dan hakekatnya berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh akal mereka bukan berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh Atsar dan yang telah disepakati oleh salaf. Mereka menjadikan akal mereka sebagai hakim untuk  sifat-sifat Allah yang merupakan hakikat dan yang bukan hakikat. Bukan berdasarkan dalil-dalil Naqli berupa ayat-ayat, hadits, maupun qaul Salaf.
Inilah jenis takwil yang  telah dikarang oleh Abu Bakr bin Faurak[12] dalam sebuah kitab yang berjudul “ Ta’wîl al Musyki al Qur’ân” dan dibantah oleh Qadhî Abu Ya’la dengan sebuah kitab yang berjudul “ibthâl al ta’wîlât fî akhbâ al Shifât”. Begitu juga Ibnu Qudamah yang telah mencela takwil dengan kitabnya yang berjudul “Zamm al ta’wîl”
Batalnya klaim-klaim takwil oleh salaf terkait ayat-ayat sifat
Yang sering terjadi dalam klaim-klaim orang-orang yang menukil takwil tentang ayat-ayat sifat dari  kaum salaf yang dilakukan oleh  kalangan Asya’irah lalu mereka jadikan pembelaan untuk melakukan pemalingan makna terhadap semua ayat-ayat sifat adalah sebagai berikut:
  1. klaim itu tidak benar karena tidak ada sumbernya atau dhoif sanadnya, atau menyalahi perkataan yang lebih masyhur dari salaf tersebut
  2. tidak sesuai dengan tempatnya, seperti takwilan tersebut bukanlah pada nash-nash yang terkait dengan ayat-ayat sifat atau diperselisihkan sebagai ayat sifat
  3. tidak memahami perbedaan takwil bathil yang berarti pemalingan makna dengan takwil yang bermakna tafsir.
Sebagai contoh yang sering adalah klaim bahwa Mujahid, Al Dhahak, Al Syafii, dan al Bukhârî mentakwil lafadz wajah dalam firman Allah taala : فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
Dengan mengatakan bahwa Mujahid berkata: Qiblatullah dan Imam Syafii mengatakan
تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّه:فثمّ الوجه الذي وجهكم الله إليه

yaitu arah yang ditunjukkan oleh Allah bagi kalianِ.
Jawabannya dari semua itu adalah bahwa ayat ini termasuk yang diperselisihkan oleh salaf  ayat sifat atau bukan. Kebanyakan salaf menganggapnya bukan ayat sifat  maka mereka mentafsirkannya sebagaimana telah disebutkan diatas.
Hal ini karena الوجه   dalam bahasa arab terkadang berarti arah, dan inilah yang populer. Dzohir ayat menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah arah bukan sifat Allah, yang semisal ini bukanlah takwil karena takwil berdasarkan pemahaman mutaakhirin adalah memalingkan ayat dari maksud, penunjukkan, dan arti yang dikenal.
Seluruh penukilan tafsir ayat ini adalah sehubungan dengan pendapat mereka bahwa ayat ini bukanlah ayat sifat. Adapun dalam ayat lain yang merupakan ayat sifat mereka menetapkan bahwa Allah memiliki wajah dalam arti yang hakiki
Al-Qadli Abu Ya’la rahimahullah meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bahwa beliau berkata :
وأن له يدين بقوله (بل يداه مبسوطتان) وأن له يميناً بقوله (والسموات مطويات بيمينه) , وإن له وجهاً بقوله (كل شيء هالك إلا وجهه), وقوله (ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام) وأن له قدماً بقول النبي صلى الله عليه وسلم (حتى يضع الرب عز وجل فيها قدمه) يعني جهنم
“Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan dengan dalil firman-Nya : “Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64).  Dia juga memiliki wajah dengan dalil firman Allah : “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah” (QS. Al-Qashaash : 88) dan juga firman-Nya : “Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dia juga mempunyai kaki dengan dalil sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Hingga Rabb (Allah) ‘azza wa jalla meletakkan kaki-Nya padanya…” (HR. Bukhari dan Muslim) yaitu pada neraka” [13]
Adapun yang diriwayatkan dari Mujahid, al Dhahak, Abu ubaidah, dan Bukhari tentang firman Allah taala : كل شيء هالك إلا وجهه bahwa al Dhahak dan Abu Ubaidah berkata: artinya kecuali Dia, Maka ini bukanlah pemalingan makna sama sekali, karena sesuatu terkadang diungkapkan dengan sebagian kriterianya, maka maksud إلا وجهه adalah zatNya yang disifatkan dengan beberapa sifat diantaranya لوجه dan ini jelas karena tidak sama sekali menafikan sifat Allah Taala. Allah mengungkapkan zatNya dengan menyebutkan salah satu sifatnya yaitu wajah Allah taala.
Adapun riwayat dari Imam Bukhari serta Mujahid mengatakan: kecuali apa yang dilakukan untuk menharapkan wajahnya.
Maka hal ini merupakan tafsir yang sesuai dengan syariat dimana segala sesuatu yang dilakukan memang harus diniatkan untuk Allah Subhanahu wataala.
Namun begitu, hal tersebut tidak dimaksudkan untuk menolak penetapan sifat Allah yang memiliki wajah yang sesuai
dengan keagungan dan kebesaran Allah Subahanahu Wataala. Dalam mentafsirkan firman Allah Subahanahu Wataala:
للذين احسنوا الحسنى والزيادة
Al imam Daruquthni meriwayatkan dalam kitab al ru’yah dari al dhahak ia berkata:
Al ziyadah adalah memandang wajah Allah ajja Wajalla[14]
al Lalikâi juga menyandarkan kepada Mujahid dari jalan ibnu abi Hatim bahwasanya ia berkata : للذين احسنوا الحسنى والزيادة ia berkata: Al Husna adalah Syurga dan Al ziyâdah adalah memandang Rabb.[15]
Imam Bukhari menetapkan Wajah Allah sesuai dengan Kesempurnaan Sifat Allah, tanpa beliau palingkan pada makna lain. Bagaimana kita tahu bahwa beliau menetapkan ‘Wajah’ bagi Allah? Bisa kita simak dalam kitab Shahih beliau sendiri pada bagian yang lain. Beliau menempatkan bab tersendiri dalam penafsiran ayat itu, kemudian menyebutkan riwayat hadits yang menjelaskan kandungan bab  itu sendiri.
Imam al Bukhâri menyatakan dalam kitab Shahihnya:
بَاب قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ}
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ } قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعُوذُ بِوَجْهِكَ فَقَالَ{ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ } فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعُوذُ بِوَجْهِكَ قَالَ { أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا } فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَيْسَرُ
“Bab firman Allah Ta’ala : ‘Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya’
Telah memberitahukan kepada kami Qutaibah bin Sa’id (ia berkata) telah memberitahukan pada kami Hammad bin Zaid dari ‘Amr dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: ketika turun ayat ini : ‘Katakan: Dialah (Allah) Yang mampu untuk mengirim adzab dari atas kalian’, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah : ‘atau dari bawah kaki kalian’, Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah: atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan), Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Ini lebih ringan’
Telah dimaklumi di kalangan para Ulama’ Ahlul hadits bahwa pemilihan riwayat hadits dalam suatu bab merupakan representasi pemahaman Imam  Bukhârî terhadap makna yang ada pada bab tersebut.ini terungkap dalam sebuah kaedah :
فقه البخاري في بابه
Pemahaman Bukhâri terletak pada babnya, yaitu kesimpulan tentang pendapat beliau mengenai suatu masalah biasanya direpresentasikan dalam bab yang beliau buat. Ketika Imam  Bukhârî menyebutkan hadits perkataan/ doa Nabi: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, beliau tidaklah mentakwilkan ucapan Nabi tersebut pada makna-makna lain.. Beliau sekedar menyebutkan riwayat itu saja. Dari sini juga kita bisa melihat bahwa Imam Bukhârî menjadikan hadits tersebut sebagai tafsir dari wajah. Ini menunjukkan bahwa Imam  Bukhârî menetapkan Sifat ‘Wajah’ bagi Allah tanpa mentahrif (memalingkan) pada makna yang lain.
Mungkin masih tersisa pertanyaan: ‘Jika benar Imam Bukhârî memilih pendapat yang kedua dalam menafsirkan ayat itu, bukankah juga berarti beliau menakwilkan ayat tersebut. Kalimat: ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali Wajah Allah’ ditakwilkan sebagai ‘Segala sesuatu akan binasa kecuali yang mengharapkan Wajah Allah’. Benar, itu adalah takwil yang beliau lakukan sebagaimana penakwilan al Tsaurî. Penakwilan tersebut tidaklah batil, karena memang dipahami dari ucapan lafadz Arab.
Al-Imam al Thobâry menyatakan dalam tafsirnya  juz 19 halaman 643 bahwa penafsiran tersebut sesuai dengan perkataan syair:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ ذَنْبًا لَسْتُ مُحْصِيهُ… رَبُّ العِبادِ إلَيْهِ الوَجْهُ والعَمَلُ
“Aku memohon ampun kepada Allah dari dosa yang aku tak mampu menghitungnya…
(Dialah) Rabb hamba-hamba,  kepadaNyalah wajah (kehendak) dan amalan
Lafadz الوجه (wajah) dalam kalimat syair tersebut berarti kehendak dan keinginan. Takwil yang demikian bukanlah takwil yang batil, karena merupakan salah satu penjelasan terhadap makna kalimat yang sesuai dengan konteks bahasa Arab yang biasa dipahami. Selain itu, penakwilan ini tidaklah menafikan penetapan ‘Wajah’ bagi Allah sesuai dengan Keagungan, Kemulyaan, dan Kesempurnaan Allah, yang tidak sama dengan makhlukNya, dan tidak diketahui kaifiyatnya kecuali Allah.
Ibnu taimiyah mengatakan : ta’wil dari salaf jika berasal dari sahabat maka hal itu diterima, karena mereka mendengarnya dari Rasul, Jika berasal dari selain mereka dan pengikut mereka (tabiin) dan dijadikan pedoman oleh para Imam maka kita juga menerimanya. Namun kalau ia menyendiri maka kita berpaling darinya sebagaimana kita berpaling dari takwil kholaf.[16]
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dan praktek-praktek yang dilakukan Ibnu Taimiyah dalam banyak tulisannya maka jelaslah bahwa komentar-komentar beliau terkait sifat Allah hanyalah sebatas tafsiran yang berasal dari para pendahulu kaum muslimin dari kalangan salaf dan sahabat. Kalaupun dia menulis dengan kata takwil maka hal tersebut bermakna tafsir yang sangat berbeda dengan pemahaman Mutaakhirin yang memalingkan makna atau bahkan merubah (tahrif).
Tafsir-tafsir tersebut sama sekali tidak menodai akidah terhadap Sifat Allah berupa penetapan sifat sebagai mana datangnya dan sesuai dengan apa yang Allah sifatkan bagi diriNya tanpa tahrif ta’thil dan tamsil. Beliau banyak menjelaskan hal ini dalam kitab-kitabnya, maka ambillah pelajaran.
Wallahu a’lam Bisshowab
Semoga bermanfaat
Saudaramu: dobdob
Maraji:
  1. Al Asyâirah Fî Mizâni Ahli al Sunnah
  2. Mauqif Ibnu Taimiyah Min Asyâirah
  3. Majmu Fatâwa
  4. al Risâlah al Tadmuriyyah
  5. www.darussalaf.or.id
  6. www.almanhaj.or.id

[1] Mukhtar Sihhâh: unsur-unsur أول
[2] Lisân al arab: unsur-unsur أول
[3] Diawal surat yusuf dijelaskan tentang cerita dimana planet-planet bersujud padanya dan kejadian itu terjadi dimesir ketika beliau menjadi salah seorang pembesar negeri itu. Itulah takwil atau kejadian yang sebenarnya dari mimpi tersebut.
[4] Maksudnya isi bacaan  Rasulullah ketika ruku dan sujud berisi tasbih dan istighfar sesuai dengan ayat dalam surat al Nashr ayat 3 tersebut
[5] Perkataan seperti ini sering sekali ditemukan dalam tafsir-tafsir semisal al Thabarî dan Ibnu katsir serta lain-lain ketika memulai mentafsirkan sebuah ayat Al qur’an
[6] Inilah yang merupakan ranah kaifiat yang kita jahil tentang hal tersebut kecuali yang telah diberitakan oleh Allah, tidak ada jalan lain kecuali menetapkan sesuai dengan dzohirnya, yakni yang sesuai dengan keagungan dan kebesarannya tanpa takyif, tasybih dan tamsil.
[7] Tafsir Ibnu Jarîr ( 3/182-183). Secara jelas juga bahwa waqaf dalam ayat tersebut memiliki dua riwayat yang keduanya boleh digunakan dan kedua pendapat tersebut memiliki Faidah yang melengkapi bukan bertentangan
[8] Majmu’ Fatâwa 6/394
[9] Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, Ibnu Taimiyah, jilid 5/381-383, Tahqiq. Dr Muhammad Rosyad Salim
[10] Seharusnya mereka menyebutnya dengan istilah tashrif (pemalingan) atau tahrif (perubahan) karena kata takwil sejatinya berkonotasi positif dan akrab ditelinga kaum salaf.  Mungkin mereka menggunakan istilah takwil demi untuk dianggap baik lalu mereka menyebutkan sesuatu bukan dengan namanya untuk mengaburkan pendengar.
[11] Yaitu qarinah yang mereka klaim sebagai Tanzih (pensucian), namun sejatinya justeru jurang yang menjerumuskan mereka kepada berbicara tentang Allah yang mereka tidak memiliki ilmu tentang hal tersebut. Mereka mengatakan bahwa istiwa bermakna istawla, karena kalau bermakna istiwa maka sesuai pikiran sempit mereka akan membuat Allah sama dengan makhluknya, padahal dengan memaknakan istawla justeru membuat tandingan-tandingan bagi Allah karena dalam bahara arab istawla hanya digunakan untuk Sesutu yang berkuasa setelah mengalahkan sesuatu. Apakah Allah perlu mengalahkan sesuatu untuk menguasai alam semesta padahal ia menciptakan yang tidak ada menjadi ada? Wal iyadzu billah
[12] Salah seorang pemuka Asy’ariyah yang menjadi penyebar mazhab ini setelah sebelumnya redup
[13] Thabaqat Al-Hanabilah oleh Al-Qaadliy Abu Ya’la Al-Farraa’, 2/269, tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman bin Sulaiman Al-‘Utsaimin; Cet. Tahun. 1419
[14] Al Ru’yah al Dâruqutni 162
[15] Al-lâlikâi 3/454-463
[16] Naqdhut ta’sis (manuskrip/2/20) nukilan dari atsar yang didapat dari para Imam sunnah tentang bab I’tiqad dari kitab siyar a’lami al Nubalâ.

Sumbangsih Ibnu Taimiyah Terhadap Islam dan Muslimin

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, pembaru agung itu telah wafat berabad-abad yang lalu di dalam penjara Damaskus, sesudah melakukan jihad panjang di dalam hidupnya. Melalui pena dan lisannya yang tajam berisi, beliau runtuhkan sendi-sendi kesesatan ahli bid’ah dan ahli ahwa’ dari kalangan ahli filsafat, ahli kalam, kaum tarekat Sufiyah, Syi’ah Rafidhah, Nushairiyah, kaum salibis maupun Yahudi serta yang lainnya.
Zaman Syaikhul Islam hidup adalah zaman di mana tersebar berbagai kebid’ahan dan kesesatan, kejahilan, dan taklid buta. Ditambah lagi, negara-negara Islam saat itu dalam bahaya besar yang mengancam, yaitu bangsa Tartar yang mulai menyerang pelbagai wilayah Timur Tengah.
Dalam kondisi seperti inilah Syaikhul Islam senantiasa berdiri tegar menghadang laju musuh-musuh Islam, baik dari kalangan ahli bid’ah maupun orang-orang kafir. Beliau berpindah dari satu majelis ke majelis lainnya, dari satu medan perang ke kancah pertempuran lainnya. Beliau berjuang, memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran, memberi nasihat, menjelaskan dan membongkar berbagai kesesatan firqah-firqah sesat serta berusaha mengembalikan kaum muslimin kepada ajaran Islam yang murni.
Syaikhul Islam rahimahullahu telah meninggalkan warisan yang tak ternilai harganya. Bahkan ini merupakan salah satu rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan memelihara peninggalan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Betapa banyak warisan-warisan ilmiah para ulama besar masih tersimpan sebagai manuskrip. Belum dapat dipetik faedahnya oleh kaum muslimin, bahkan sebagiannya hilang atau mungkin tersimpan di perpustakaan-perpustakaan besar di seluruh dunia. Wallahul musta’an.
Beliau adalah pelopor setiap kebangkitan umat Islam di belahan bumi manapun. Umat yang terbimbing menuju jalan yang lurus tentu tidak akan lupa jasa besar beliau dalam menjelaskan rambu-rambu dan simbol-simbol Islam yang hampir pudar di bawah tumpukan bid’ah, hawa nafsu, adat istiadat, taklid, kedustaan, dan berbagai kebatilan. Sungguh, warisan Syaikhul Islam bersambung dengan kehidupan umat ini, dan akan terus demikian.
Dalam Ilmu-ilmu Ushul
Jasa beliau dalam bidang ilmu ushul, baik aqidah maupun manhaj dan ushul fiqihnya sangat besar. Terutama dalam bidang aqidah.
Al-Imam Al-Hafizh ‘Umar bin Al-Bazzar –salah seorang murid beliau– dalam kitabnya Al-A’lamul ‘Aliyah fi Manaqib Ibni Taimiyah menceritakan bagaimana keadaan tokoh-tokoh yang terbelit dengan kebingungan ilmu kalam dan filsafat. Mereka sama sekali tidak mampu merumuskan sebuah kebenaran di dalam hati mereka. Bahkan ilmu kalam dan filsafat yang mereka pelajari itu tidak mengakar pada diri mereka. Mereka melihatnya sebagai lembah kebingungan dan kesesatan.
Hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kesempatan kepada mereka membaca buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu yang sarat dengan dalil-dalil sam’iyat (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan logika/nalar. Ternyata, buku-buku beliau rahimahullahu membuktikan bahwa akal yang sehat pasti bersesuaian dengan dalil-dalil sam’i tersebut. Akhirnya tersingkaplah kegelapan yang menyelimuti mereka akibat teori-teori ahli kalam dan hilanglah kekhawatiran tersesat dalam diri mereka ketika membahasnya.
Bahkan Al-Imam Al-Bazzar rahimahullahu menegaskan dengan ucapannya: “Siapa yang mau membuktikan benarnya perkataan saya ini, kalau dia mau, hendaklah dia meneliti buku-buku beliau dengan jujur, adil, jauh dari kedengkian dan penyelewengan, baik yang ringkas seperti Syarah ‘Aqidah Ashbahaniyah atau yang lebih luas Dar’ut Ta’arudh Al-‘Aql wan Naql…”
Al-Imam Al-Bazzar pernah menanyakan kepada beliau rahimahullahu mengapa beliau lebih banyak menulis dalam bidang ushul ini, ketika beliau meminta agar Syaikhul Islam mau menulis tentang fiqih. Tetapi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memberi jawaban: “Masalah furu’, mudah. Siapa saja yang diikuti seorang muslim dari sekian ulama maka dia boleh mengamalkannya, selama tidak nampak kesalahannya.
Adapun ilmu-ilmu ushul, karena banyaknya ahli bid’ah, orang-orang sesat pengikut hawa nafsu, ahli-ahli filsafat, kaum batiniah, mulhid, orang-orang yang berkeyakinan wihdatul wujud (manunggaling kawula gusti), dan lain-lain, yang ingin meruntuhkan sendi-sendi syariat ini. Bahkan kebanyakan mereka telah menjerumuskan manusia ke dalam keraguan tentang prinsip-prinsip pokok dien mereka. Sebab itulah saya tidak pernah mendengar atau melihat mereka yang berpaling dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, menyambut dan menerima pernyataan atau pendapat ahli kalam atau filsafat itu, melainkan akhirnya menjadi zindiq, tidak yakin dengan dien (Islam) dan aqidahnya.”
Termasuk dalam hal ini adalah karya Syaikhul Islam dalam aqidah dan manhaj, yang sarat dengan penetapan kaidah pokok yang menyeluruh sekaligus bantahan terhadap berbagai teori filsafat dan ilmu kalam yang disusupkan ke dalam aqidah Islam.
Dalam banyak tulisannya, Syaikhul Islam selalu menganjurkan untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber utama syariat Islam. Beliau berkata: “Adapun berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berita yang haq (pasti dan benar)… Tidak mungkin berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandung kebatilan…”
Beliau juga mengatakan: “Tidak satupun mereka menyempal dengan satu pendapat ganjil dari mayoritas muslimin, melainkan di dalam Kitab Allah dan As-Sunnah ada dalil yang menerangkan kerusakannya (kesesatannya). Adapun pendapat yang diterangkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidaklah dikatakan syadz (ganjil), meskipun yang menyuarakannya lebih sedikit dibandingkan yang mengatakan pendapat yang salah… Sehingga jumlah banyak atau sedikitnya yang mengucapkan, tidaklah dianggap….”
Beliau menegaskan pula wajibnya mengedepankan syariat daripada akal ketika dianggap ada pertentangan di antara keduanya. Sebab sejatinya, akal yang sehat, tidak akan mungkin bertentangan dengan dalil-dalil naqli (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang jelas dan gamblang.
Karya-karya beliau dalam bidang ini antara lain:
- Al-Aqidah Al-Wasithiyah, yang ditulis beliau atas permintaan seorang qadhi Wasith. Kitab ini ditulis setelah selesai shalat ‘ashar. Di dalamnya beliau jelaskan prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, baik terkait tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala atau rukun iman lainnya. Lawan-lawan beliau menghadirkan Shafiyuddin Al-Hindi, syaikh para syaikh yang ada untuk berdebat dengan Syaikhul Islam rahimahullahu.
1- Al-Hamawiyah, juga beliau tulis dalam waktu yang sangat singkat, antara shalat zhuhur dan ‘ashar. Bahkan sebagian tokoh Syafi’iyah, Imamuddin Al-Quzwaini meminta beliau membacakan kepadanya dan menjelaskan beberapa hal yang masih musykil. Setelah mendapat keterangan yang memuaskan, qadhi memutuskan bahwa semua yang mencela Syaikh (Ibnu Taimiyah) diberi peringatan.
2- Dar’ut Ta’aradh ‘Aqli wan Naqli, salah satu kitab utama Syaikhul Islam yang membantah pemikiran kaum Asya’irah (Asy’ariyah, red.) yang mengharuskan didahulukannya akal daripada wahyu jika bertentangan.
Dalam Bidang Tafsir
Ibnu ‘Abdil Hadi rahimahullahu, salah seorang murid Syaikhul Islam mengatakan: “Adapun tafsir, maka diserahkan kepada beliau. Beliau sangat cepat dan kuat dalam menghadirkan sejumlah ayat Al-Qur’an ketika menerangkan satu masalah. Bahkan beliau mengumpulkan pendapat ahli tafsir dari kalangan salaf yang menyebutkan sanad dalam kitab-kitab mereka lebih dari 30 jilid. Sebagian dituliskan oleh para sahabatnya dan banyak pula yang belum mereka tulis.”
Adapun 30 jilid itu, belum tersusun berdasarkan mushaf yang mulia di tangan kita secara teratur. Lepas dari itu, beliau rahimahullahu, telah memberikan satu sumbangan besar yang berharga bagi kaidah-kaidah tafsir yang diteruskan oleh para ulama sesudah beliau. Kitab beliau Muqaddimah Ushul Tafsir terhitung kitab paling penting dalam bidang ini. Bahkan sejatinya, kitab ini merupakan bukti nyata metode (manhaj) yang ditempuhnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’anul Karim.
Dalam kitab tersebut, beliau telah membuka pintu selebar-lebarnya untuk memahami maksud Al-Qur’an. Beliau letakkan kaidah dan timbangan serta metode tarjih terhadap beberapa pendapat. Tetapi Syaikhul Islam tidak bertaklid kepada salah seorangpun dari ahli tafsir sebelum beliau ataupun ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an lainnya.
Beliau menegaskan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan kepada para sahabatnya makna-makna Al-Qur’an sebagaimana beliau menjelaskan lafadz-lafadznya kepada mereka g. Sehingga, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur`an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An-Nahl: 44)
meliputi penjelasan tentang lafadz dan makna.
Bahkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ
“Maka apakah mereka tidak memerhatikan Al-Qur’an?” (Muhammad: 24)
dan ayat yang semakna, menjelaskan bahwasanya tidak mungkin mentadabbur Al-Qur’an tanpa memahami maknanya.
Sebab itulah perselisihan pendapat di kalangan sahabat dalam masalah tafsir sangat sedikit. Meskipun hal ini lebih banyak terjadi di antara para tabi’in daripada sahabat, tetapi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan orang-orang yang sesudah mereka.
Dalam Bidang Fiqih dan Ushulnya
Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, Ibnu Az-Zamlakani mengatakan: “Ahli fiqih dari berbagai mazhab, jika diskusi bersama beliau, niscaya mereka memetik faedah dari beliau hal-hal yang sebelumnya tidak pernah mereka kenal.”
Terlebih lagi, beliau rahimahullahu telah mencapai tingkat mujtahid. Beberapa fatwa beliau menimbulkan pro dan kontra, sampai pemerintah waktu itu diminta menangkap dan memaksa beliau untuk tidak mengeluarkan fatwanya yang bertentangan dengan mazhab yang ada ketika itu.
Di antara fatwa paling masyhur diperselisihkan adalah masalah thalaq (talak/cerai); thalaq tiga sekaligus menurut beliau tetap jatuhnya satu. Kemudian dalam masalah ziarah kubur. Insya Allah diulas ringkas dalam Tuduhan dan Kedustaan Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Lain-lain
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu bukan hanya seorang ilmuwan mujtahid dalam ilmu-ilmu syariah dan cabang-cabangnya. Atau kritikus tajam terhadap lawan debatnya yang menyelisihinya di bidang aqidah. Bukan pula semata pakar hadits yang hanya piawai di bidang ilmu-ilmu hadits dan rawi-rawinya. Bukan pula hanya seorang pemikir besar hingga mampu menumbangkan tokoh-tokoh besar ahli filsafat dan mantiq serta menjelaskan kesalahan-kesalahan dan ketergelinciran mereka dalam ilmu yang mereka susupkan ke dalam syariat yang mulia ini. Bukan hanya itu.
Tetapi, Ibnu Taimiyah adalah juga ahli perang dan ahli siasat syar’i yang ulung. Karya-karya beliau tentang politik Islam dan kepemerintahan membuktikan hal itu. Sebut saja beberapa kitab beliau tentang masalah ini, seperti Al-Hisbah fil Islam, As-Siyasah Asy-Syar’iyah, atau Wazhifatul Hukumah Al-Islamiyah, dan sejumlah fatwa lainnya. Sampai-sampai seorang orientalis Perancis, Henry Louis mengumpulkan pandangan-pandangan Syaikhul Islam tentang sosial politik bahkan menjadikannya sebagai topik salah satu pembahasan tesis doktoralnya di Paris.
Tak kalah pentingnya, bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu penentu masa depan Islam dan kaum muslimin, sesudah rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tentunya, adalah andil beliau dalam membangkitkan semangat para penguasa dan kaum muslimin menghadapi bangsa Tartar.
Dapat diringkas peran beliau dalam menghadapi bangsa Tartar sebagai berikut:
1. Tanggal 17 Syawwal 697 H, beliau membangkitkan semangat kaum muslimin dan penguasa mereka untuk berjihad. Beliau jelaskan pahala yang diterima para mujahid.
2. Tahun 699 H –ketika Qazan mendekati Syam–, beliau menemui Qazan bersama beberapa tokoh negeri itu, meminta jaminan keamanan bagi negeri itu. Syaikhul Islam berbicara dengan kalimat-kalimat yang tajam dan pedas, hingga orang-orang yang ikut menyertai, merasa yakin beliau akan dibunuh. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan beliau dan kaum muslimin.
3. Ketika Tartar menguasai Damaskus, mereka ingin menguasai pula benteng penduduk Damaskus. Syaikhul Islam datang kepada penguasa benteng yang ingin menyerahkan benteng itu kepada Tartar. Beliau berkata: “Seandainya tidak ada yang tersisa selain satu batu bata di benteng ini, tetap jangan anda serahkan kepada mereka, kalau anda mampu.” Akhirnya benteng itupun selamat dari cengkraman Tartar.
4. Ibnu Taimiyah kembali menemui raja Tartar tanggal 20 Rabi’ul Akhir (699 H), namun tidak jadi bertemu. Beliau lalu menemui Bulai (seorang jenderal Tartar) dan membicarakan tawanan muslimin yang ada di tangannya. Akhirnya dibebaskanlah sebagian besar tawanan itu, dan beliau tinggal bersama mereka selama tiga hari.
5. Setelah Tartar meninggalkan Syam, negara dalam keadaan mencekam. Rakyat diliputi ketakutan luar biasa, kapan Tartar akan menyerang lagi? Merekapun berkumpul menjaga benteng kota untuk mempertahankan negara. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah setiap malam berkeliling menghasung dan memberi semangat untuk tetap sabar dan terus berperang. Beliau bacakan kepada mereka ayat-ayat jihad dan ribath (berjaga di perbatasan wilayah muslimin).
6. Tahun 700 H, tersebar desas-desus Tartar akan menyerang Syam sekali lagi. Rakyat resah luar biasa. Ibnu Katsir menceritakan: “Di awal Shafar, datang berita bahwa Tartar menuju Syam siap untuk memasuki Mesir. Rakyat tersentak, bertambah-tambah kelemahan mereka, bahkan serasa hilang kesadaran mereka. Akhirnya mereka segera berusaha melarikan diri menuju Mesir atau benteng-benteng yang kokoh. Harga unta naik menjadi seribu dirham dan keledai menjadi limaratus dirham. Sedangkan perabotan dan pakaian serta barang-barang lainnya terpaksa dijual murah. Syaikhul Islam tetap di majelisnya di masjid Jami’ menghasung kaum muslimin untuk berperang. Beliau uraikan ayat dan hadits tentang jihad. Beliau melarang agar jangan buru-buru melarikan diri. Bahkan beliau menyatakan wajib memerangi bangsa Tartar. Akhirnya, diumumkan kepada seluruh rakyat untuk tidak keluar kota kecuali dengan surat jalan resmi. Rakyatpun berhenti mengungsi (melarikan diri).
Rakyat semakin kalut ketika Sultan kembali ke Mesir. Merekapun keluar meninggalkan Syam. Syaikhul Islam datang ke wakil penguasa di Syam dan memberi semangat serta mendorong mereka mengundang Sultan datang ke Damaskus. Wakil itupun datang menemui Sultan, tetapi tidak mendapatinya di Mesir, ternyata Sultan sudah masuk ke Kairo. Pasukanpun tercerai berai. Ibnu Taimiyah menemui Sultan dan membujuknya menyiapkan pasukan menuju Syam. Kata beliau ketika itu: “Jika anda tidak mau kembali ke Syam dan melindunginya, kami akan angkat seorang penguasa yang mengatur dan melindunginya serta memerhatikannya di waktu aman.”
Beliau terus mendorong hingga terkumpullah pasukan besar siap menuju Syam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tetap di Mesir selama delapan hari menghasung mereka berjihad. Akhirnya, mereka menerima seruan beliau, dan beliaupun kembali ke Syam. Kemudian, datanglah berita ke wilayah Syam bahwa Tartar sudah kembali, tidak jadi menyerang Syam. Rakyatpun kembali merasa aman.
7. Dalam pertempuran di Syaqhab, tahun 702 H, di mana Tartar mengalami kekalahan, peran Syaikhul Islam juga sangat besar. Beliau memberikan kabar gembira akan kemenangan mereka, bahkan bersumpah: “Demi Allah, Yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia, bahwasanya kamu akan ditolong mengalahkan mereka, pada kesempatan ini.” Seorang pembesar menegur: “Katakanlah: ‘Insya Allah’.” Beliau menukas: “Insya Allah sebagai penegas, bukan menggantungkan.”
Beberapa pembesar seperti panglima Husamuddin Lajin Ar-Rumi, Shalahuddin bin Al-Malik As-Sa’id Al-Kamil, dan beberapa orang terkemuka lainnya, gugur dalam peperangan itu. Menjelang ashar kaum muslimin dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala berhasil mengalahkan pasukan Tartar.
Malam harinya, pasukan Tartar dikepung oleh kaum muslimin ketika mereka berlindung di bukit-bukit. Kaum muslimin menyerang mereka bertubi-tubi dari segala penjuru hingga menjelang fajar. Akhirnya banyak di antara mereka yang terbunuh, bahkan yang tertangkap di antara mereka dihukum mati. Sebagian kecil ada yang selamat tetapi mereka binasa di lembah-lembah dan tempat lainnya, atau tenggelam di sungai Eufrat karena gelapnya malam.
Peranan beliau ini, termasuk penentu sejarah peradaban manusia di masa mendatang. Terusirnya bangsa Tartar dari Timur Tengah, membuat mereka berpikir keras untuk menyerbu kembali. Dengan selamatnya wilayah Timur Tengah ini, maka semenanjung Eropa dan sekitarnya terselamatkan pula dari jarahan mereka. Wallahu a’lam.
Tidak banyak sumber yang menerangkan andil besar beliau dalam jihad menghadapi kaum salibis sebelum mereka diusir dari negeri Syam terakhir kalinya. Hanya saja, Al-Bazzar menceritakan, ketika memaparkan keteguhan dan keberanian Syaikhul Islam: “Mereka ceritakan bahwa mereka melihat Ibnu Taimiyah ketika membebaskan ‘Akkah memperlihatkan keberanian yang luar biasa. Tak mungkin diterangkan dengan kata-kata. Kata mereka: ‘Sungguh, salah satu sebab kaum muslimin menguasai kembali kota ini adalah karena tindakan, tepatnya arahan dan pandangan beliau’.”
Padahal usia beliau ketika itu baru sekitar 30 tahun. Wallahu a’lam.
1 Beberapa tokoh seperti As-Subki tidak merasa kagum dengan terbungkamnya Shafiyuddin Al-Hindi. Bahkan mereka berusaha menutup-nutupi kenyataan ini. Akan tetapi, Al-Hafizh Ibnu Hajar dengan tegas menerangkan bahwa tidak ada yang tetap berdebat dengan Ibnu Taimiyah sampai selesai melainkan Ibnul Wakil. Wallahu a’lam.
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=742

Tuduhan dan Kedustaan Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Syaikhul Islam pernah mengungkapkan: “Di antara Sunnatullah yang ada, apabila Dia ingin menampakkan dien-Nya, maka Dia munculkan pula orang yang akan menentang ajaran dien-Nya. Lalu Dia membenarkan al-haq itu dengan firman-firman-Nya, dan Dia melontarkan yang haq kepada yang batil (lalu yang haq itu menghancurkannya), maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.”
Seteru Syaikhul Islam rahimahullahu sangat banyak. Mulai dari yang sezaman dengan beliau hingga zaman kita ini. Umumnya mereka adalah musuh-musuh aqidah salafus shalih. Sebab itulah, kebanyakan mereka menyerang beliau dalam masalah aqidah, berlanjut kepada hal-hal yang terkait, seperti metode penerimaan ilmu (talaqqi) dan penggunaan dalil (istidlal).
Sehingga untuk memilah lawan-lawan beliau menjadi beberapa bagian cukup sulit. Sebagai contoh, mereka yang terang-terangan memusuhi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari kalangan ahli fiqih justru memiliki keyakinan aqidah Asy’ariyah. Sementara itu banyak di kalangan tokoh Asy’ariyah berpahaman tarekat Sufiyah. Bahkan cukup banyak pula mereka yang berpegang pada ajaran filsafat.
Yang jelas, di manapun dan kapanpun, ahlul batil senantiasa bersatu padu mengarahkan serangannya kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hingga saat ini.
Salah seorang murid beliau, Al-Imam Abu Hafsh Al-Bazzar rahimahullahu (wafat 749 H), dengan ungkapan yang sangat mengesankan berkata:
“Ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu senantiasa meraih dunia dengan (memanfaatkan) ajaran dien ini. Mereka saling dukung dan membantu satu sama lain di dalam memusuhi beliau. Bahkan selalu mencurahkan segenap daya upaya mereka untuk melenyapkan Syaikhul Islam. Tidak segan-segan mereka menyerang beliau dengan kedustaan yang nyata, menisbahkan kepada beliau hal-hal yang tidak pernah beliau nukil dan tidak pernah beliau ucapkan, bahkan tidak pula ditemukan dalam tulisan dan fatwa beliau, atau di majelis ilmu yang beliau adakan. Apakah kamu kira mereka tidak tahu bahwa mereka akan ditanya dan dihisab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang semua itu? Tidakkah mereka mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 16-18)
Tentu, demi Allah (demikianlah). Tetapi ambisi mereka yang lebih mementingkan dunia daripada akhirat, telah menguasai mereka. Sebab itulah mereka mendengki dan membencinya, karena beliau berbeda dan menyelisihi mereka.”
Berbagai upaya senantiasa mereka lakukan untuk melenyapkan pengaruh Ibnu Taimiyah di dalam hati umat, ketika mereka tidak mampu lagi membantah hujjah beliau dalam meruntuhkan sendi-sendi kesesatan mereka.
Di antara bentuk-bentuk permusuhan yang mereka lancarkan terhadap Syaikhul Islam ialah:1
1. Melemparkan tuduhan palsu kepada beliau, antara lain:
a. Syaikhul Islam berpemahaman tasybih (menyerupakan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya) tentang istiwa’ Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya dan sifat turun bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala serta sifat lainnya.
b. Syaikhul Islam mengharamkan ziarah kubur secara mutlak, terutama kubur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c. Syaikhul Islam lancang menyalah-nyalahkan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
2. Talbis (pemalsuan) dan Tadhlil (penyesatan)
a. Misalnya, ahli bid’ah menyampaikan sebagian masalah aqidah yang sesat, lalu menukil perkataan Syaikhul Islam untuk mendukung pendapat dan keyakinannya itu. Salah satu contohnya, mereka (Khawarij di zaman ini) menghasut kaum muslimin untuk mengkafirkan dan memberontak kepada pemerintah muslimin dengan dalil bahwa Syaikhul Islam mengkafirkan raja Tartar (yang sudah masuk Islam), memerintahkan kaum muslimin menyerang mereka karena mereka kafir.
b. Syaikhul Islam membolehkan tawassul dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c. Syaikhul Islam memuji kaum Asya’irah dan menganggap mereka para pembela ushuluddin.
d. Syaikhul Islam tidak menerima khabar ahad (hadits yang dari satu jalan sanad) dalam masalah aqidah.
3. Tahdzir (agar menjauh) dan tidak tertipu dari beliau, terang-terangan.
Ketika mereka tidak mampu menghadapi Ibnu Taimiyah secara ilmiah, mereka menggunakan cara lain. Akhirnya dengan memenjarakan beliau, mereka merasa telah menghinakannya. Ternyata tidak demikian hasilnya. Kaum muslimin semakin mencintai beliau. Lisan mereka senantiasa basah memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk beliau. Akhirnya mereka men-tahdzir kaum muslimin untuk tidak sampai membaca buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Yang paling panjang menulis tahdzir terhadap Syaikhul Islam dan buku-bukunya dewasa ini adalah Yusuf An-Nabhani. Seolah-olah dia sedang memberi nasihat dan merasa kasihan kepada umat ini, lalu mengingatkan orang agar tidak tertipu dari perkataan setan dan pendapat Ibnu Taimiyah.
Tetapi al-haq justru semakin menjulang. Kebatilan dan kesesatan semakin tenggelam meskipun selang beberapa waktu. Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Syaikhul Islam, mengabadikan namanya, menyebarkan ilmunya, menghinakan musuh-musuhnya dan membutakan mata (hati) mereka.
4. Menuduh Syaikhul Islam sebagai orang pertama dalam kebid’ahan dan kesesatan:
Di antaranya tentang larangan bertawassul dan sebagainya.
Bantahan terhadap Sebagian Syubhat dan Tuduhan
Sebagaimana kita uraikan tadi, bahwa semua yang dialamatkan kepada Syaikhul Islam adalah kepalsuan, tuduhan dusta, dan tanpa bukti. Pada bagian ini, akan kita paparkan sebagian bukti kepalsuan dan tuduhan-tuduhan dusta tersebut, dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semestinya, mereka yang melontarkan tuduhan dusta dan syubhat seputar pemikiran Syaikhul Islam, harus siap untuk mendatangkan bukti tuduhan tersebut. Namun mereka selalu menghindar dan mundur.
Seorang peneliti yang jujur dan adil, ketika melihat nukilan-nukilan dusta yang diklaim berasal dari Syaikhul Islam, tentu melihat kenyataan bahwa nukilan itu hanya sepotong-sepotong, tidak sempurna. Atau nukilan itu adalah dari pernyataan ahli bid’ah yang sedang dibantah oleh Syaikhul Islam, tapi dia –dengan sengaja atau tidak– meninggalkan bantahan yang ditulis oleh Syaikhul Islam, kemudian mengklaim bahwa itulah bid’ah yang dibuat-buat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Atau dia menukil sesuatu dari Syaikhul Islam tapi tidak memahami apa maksudnya.
Tuduhan mereka bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyelisihi aqidah salaf (Ahlus Sunnah wal Jamaah), maka dijawab: “Apa yang dimaksud dengan salaf? Kalau yang dimaksud salaf adalah golongan Asya’irah atau Tarekat Sufiyah, dan kebid’ahan lainnya, maka beliau memang tidak menisbahkan diri kepada salah satunya. Beliau tidak berpegang dengan pendapat mereka bahkan membantah mereka.”
Namun jika yang dimaksud salaf adalah para pendahulu umat ini serta para imamnya, dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan aimmatul huda (imam-imam petunjuk), lalu Ibnu Taimiyah menyelisihi keyakinan dan prinsip mereka, maka ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan. Sebab, beliau yang selalu menjelaskan aqidah salaf, berhujjah dengannya dan membelanya serta membantah orang-orang yang menyelisihinya, bagaimana lantas dikatakan memiliki aqidah yang menyimpang dari aqidah salaf?
Para penulis biografi beliau selalu menukil pendapat-pendapat Syaikhul Islam dalam buku-buku mereka, baik dalam fiqih maupun i’tiqad (keyakinan/aqidah).
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri memberi kesempatan selama tiga tahun kepada orang-orang yang menyelisihinya untuk meneliti tulisan-tulisannya dalam masalah aqidah agar mereka menunjukkan satu masalah yang di dalamnya beliau menyelisihi keyakinan ulama salaf. Sebab ketika itu, kalau beliau membantah dengan lisan lalu menjelaskannya, mungkin akan dicurigai bahwa uraian tersebut ada yang dikurangi atau ditambah.
Berbagai tuduhan yang ditujukan kepada beliau, dapat dijelaskan:
Pertama yang harus kita ketahui bahwa kebiasaan ahli bid’ah dan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya adalah senantiasa memberi gelar-gelar yang buruk kepada para nabi serta pengikut-pengikut mereka.
Sejak zaman Rasul yang pertama diutus ke tengah-tengah umat manusia, Nabiullah Nuh q, mereka telah melakukannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceritakan ucapan mereka tentang pengikut Nabi Nuh q:
“Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja.” (Hud: 27)
Begitu pula kepada Nabi yang diutus kepada mereka, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila’.” (Adz-Dzariyat: 52)
Apalagi terhadap pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para pewaris nabi dan rasul.
Al-Imam Ash-Shabuni rahimahullahu (wafat 449 H) meriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim, dari ayahnya, Abu Hatim Ar-Razi rahimahullahu, dia mengatakan:
 Tanda-tanda/ciri-ciri ahli bid’ah adalah penghinaannya terhadap ahli atsar.2
 Tanda-tanda kaum zanadiqah (orang-orang zindiq) ialah menggelari ahli atsar sebagai hasyawiyah3, karena hendak menggugurkan atsar.
 Tanda-tanda Qadariyah ialah menamakan Ahlus Sunnah sebagai Mujbirah (berpemahaman Jabriyah).4
 Tanda-tanda Jahmiyah adalah menamakan Ahlus Sunnah dengan musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk).
 Tanda-tanda Rafidhah (Syi’ah) adalah menjuluki ahli atsar sebagai Nabitah dan Nashibah.”5
Demikianlah keadaan ahli ahwa’ dan ahli bid’ah serta musuh-musuh Islam lainnya. Tidak ada satupun yang menisbahkan diri kepada kebid’ahan dan kesesatan apalagi kekafiran melainkan mereka sangat antipati dan memusuhi Ahlus Sunnah, baik pakar haditsnya, ahli fiqihnya, maupun ahli tafsir. Mereka melecehkan dan memandang rendah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Menganggap Ahlus Sunnah wal Jamaah hanya mengerti teks Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun tidak memahami maksud di balik lafadz-lafadz tersebut. Wallahul musta’an.
Tetapi, semua julukan itu tidak mengena pada diri Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana tuduhan para pendahulu mereka, dari kalangan musyrikin terhadap para Nabi dan pengikutnya, terlebih terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar).” (Al-Isra’: 48)
Itulah sebagian ciri dan tanda ahli bid’ah serta orang-orang yang menyimpang, dahulu dan sekarang.
Sebagaimana telah diterangkan, bahwa ciri-ciri Jahmiyah adalah menggelari Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai mujassimah atau musyabbihah.6
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih7 mengingatkan bahwa kaum mu’aththilah8 (yang menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) itulah sejatinya yang pantas dikatakan musyabbihah karena mereka mula-mula melakukan tasybih (penyerupaan terhadap makhluk), kemudian ta’thil (penolakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Karena salah memahami makna tauhid dan tanzih9, mereka terjerumus ke dalam perkara sesat yang lebih buruk dari apa yang mereka tinggalkan. Mereka ingin menyucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari keserupaan dengan makhluk-Nya kalau menyandarkan adanya sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tapi akhirnya mereka terjerumus ke dalam penyembahan sesuatu yang ‘adam (tiada). Karena sesuatu yang tidak punya sifat adalah sesuatu yang hakikatnya tidak ada, karena sesuatu yang ada mesti mempunyai sifat.
Contoh, kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala dikatakan punya Tangan, maka -menurut mereka- tidak dikenal tangan melainkan yang ada pada manusia. Sehingga merekapun menafikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan.
Sedangkan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah menetapkan sifat-sifat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan dalam Kitab-Nya, dan ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnah beliau, tanpa menyelewengkan maknanya (tahrif), tanpa menolaknya (ta’thil), tanpa menyerupakannya dengan makhluk (tamtsil), dan tanpa mempertanyakan bagaimana hakikat sifat itu (takyif).
Termasuk kedustaan yang paling laris dilansir musuh-musuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu adalah nukilan pengelana Ibnu Bathuthah yang mengatakan: “Ibnu Taimiyah menjelaskan hadits ‘Rabb kita turun pada sepertiga akhir malam,’ seperti turunku ini.” Saya menyaksikan dia turun satu tingkat dari mimbar tempatnya berkhutbah.”
Mari kita lihat kebohongan yang dia lakukan terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu.
Kapan Ibnu Bathuthah masuk ke Damaskus?
Ibnu Bathuthah sendiri menerangkan bahwa dia masuk negeri Damaskus tanggal 17 Ramadhan tahun 726 H, selang beberapa hari sesudah Syaikhul Islam masuk penjara yang terakhir kalinya, yaitu di awal Sya’ban tahun itu juga. Kemudian, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah wafat dalam keadaan tetap di penjara. Lantas, dari mana dia menyaksikan Syaikhul Islam berkhutbah di atas mimbar? Apalagi Syaikhul Islam bukan seorang khatib, sehingga kapan beliau berdiri di mimbar lalu turun, dan disaksikan oleh Ibnu Bathuthah?
Untuk menampakkan bukti kebohongan ini, periksalah buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu baik ‘Aqidah Wasithiyah, At-Tadmuriyah, Al-Hamawiyah, dan lainnya. Semua menegaskan betapa jauhnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari pemahaman musyabbihah dan mujassimah. Apalagi mengatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala turun seperti turunnya Ibnu Taimiyah rahimahullahu? Maha Suci Allah, sungguh ini adalah kedustaan yang nyata.
Tuduhan bahwa Syaikhul Islam menganggap alam ini bersifat qidam (tidak berawalan), adalah dusta. Karena pernyataan beliau tentang masalah ini sangat jelas dalam semua tulisan beliau.
Tuduhan mereka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengharamkan ziarah ke kuburan terutama kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga satu dari sekian kedustaan yang mereka timpakan kepada beliau.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa lafadz ziarah itu global, masuk ke dalamnya ziarah yang syar’i dan ziarah yang bid’ah. Adapun ziarah bid’ah adalah ziarah yang mengandung kesyirikan.
Beliau terangkan pula bahwa ulama salaf berbeda pendapat tentang disyariatkannya ziarah kubur. Sebagian mengatakan bahwa ziarah kubur haram secara mutlak dan bahwa larangan ziarah tidak mansukh (dihapus hukumnya). Di antara mereka ada yang tidak
menganggapnya sunnah dan ada pula yang memakruhkannya secara mutlak, sebagaimana dinukil dari Al-Imam Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, dan Ibnu Sirin.
Ibnu Baththal menukil dari Asy-Sya’bi, bahwa beliau mengatakan: “Kalaulah ziarah kubur tidak dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentulah aku ziarahi kuburan anakku.”10
Tidak diperselisihkan oleh kaum muslimin bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang ziarah kubur. Ada yang mengatakan alasannya adalah karena menggiring ke arah kesyirikan. Tapi kemudian, mereka berselisih apakah pengharaman ini, apakah mansukh atau tidak? Sebagian mengatakan sudah mansukh, yang lain ada yang mengatakan tidak. Yang mengatakan mansukh, berbeda pula pendapatnya, apakah mansukh dari haram kepada sunnah, atau kepada mubah?
Maka, ziarah yang mengandung perkara yang diharamkan, baik kesyirikan, kedustaan, ratapan, dan sejenisnya, hukumnya haram. Sedangkan ziarah hanya karena berduka kepada si mayit, kerabat atau sahabatnya, ini boleh. Bahkan dibolehkan pula menziarahi orang kafir untuk memperbanyak mengingat kampung akhirat, bukan untuk mendoakan atau memintakan ampunan.
Telah shahih diriwayatkan bahwa Rasulullah n meminta izin menziarahi kuburan ibundanya, dan beliau diizinkan. Tetapi beliau tidak diizinkan memintakan ampunan untuk ibunda beliau, lalu beliaupun menangis dan para sahabat yang menyertai juga menangis.
Kemudian, ziarah ke kuburan kaum mukminin, untuk mendoakan dan mengucapkan salam kepada mereka, ini disunnahkan.
Beberapa ulama Baghdad juga bangkit membela pendapat Syaikhul Islam seputar masalah ziarah kubur terutama dalam masalah hadits Syaddu Rihal.
Asy-Syaikh Jamaluddin Yusuf bin ‘Abdil Mahmud Al-Hanbali mengatakan: “…Sesungguhnya jawaban beliau dalam masalah ini, tuntas memaparkan adanya perbedaan pendapat di antara ulama, bukan hakim pemutus. Tanpa memandang apakah yang dituju adalah orang shalih atau para nabi… Sehingga dosa apa orang yang menjawab bila dia menyebutkan dalam masalah ini beberapa pendapat ulama yang berbeda lalu dia memilih condong kepada salah satu pendapat tersebut? Persoalan ini, memang seperti inilah adanya sejak dahulu kala…
Tidaklah hal itu dibawa oleh yang mengritik melainkan karena hawa nafsu yang mendorong pemiliknya kepada penyimpangan….”
Jadi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membagi ziarah itu ada dua; ziarah yang syar’i dan ziarah yang bid’ah. Jelas pula bahwa beliau tidak mengharamkan ziarah secara mutlak. Sedangkan ziarah kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah wajib menurut kesepakatan kaum muslimin. Tidak pula ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, perintah menziarahi kuburan beliau secara khusus. Yang ada hanyalah memanjatkan shalawat dan salam untuk beliau. Sebagaimana diamalkan oleh para ulama, dengan mengerjakan shalat di masjid beliau dan mengucapkan salam kepada beliau ketika masuk ke dalam masjid. Hal inilah yang disyariatkan. Wallahu a’lam.
Inilah sekelumit dari penggalan sejarah hidup Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu. Lembaran dan waktu yang tersedia, kiranya tak cukup menorehkan gambaran emas kehidupan beliau yang penuh perjuangan, dakwah dan bimbingan untuk umat Islam. Cukuplah karya-karya tulis dan buah pikiran beliau yang tergambar dalam corak berbagai pergerakan Islam yang ada di zaman ini, sebagai bukti harumnya nama besar beliau di hati umat Islam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasi beliau dengan kebaikan atas jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memelihara warisan beliau dan memelihara para ulama yang terus menghidupkan peninggalan dan perjuangan beliau. Amin Ya Mujibas Sa’ilin.
Sumber Bacaan:
1 Ar-Raddul Wafir, Ibnu Nashiruddin Ad-Dismasyqi
2. Al-A’lamul ‘Aliyyah fi Manaqib Ibni Taimiyah, ‘Umar bin ‘Ali Al-Bazzar
3. Syahadatuz Zakiyah, Mar’i Yusuf Al-Karmani
4. Fihris Al-Faharis, Al-Kattani
5. Ad-Durarul Kaminah, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
6. Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir
7. Al-‘Uqud Ad-Durriyah, Ibnu ‘Abdil Hadi
8. Adh-Dhau’ Al-Lami’, As-Sakhawi
9. Tarikhul Islam, Adz-Dzahabi
10. Al-‘Ibar fi Khabari man Ghabar, Adz-Dzahabi
11. Dzail Thabaqat Al-Hanabilah, Ibnu Rajab Al-Hanbali
12. Da’awi Al-Munawi’in li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, ‘Abdullah bin Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Ghashani.
13. Mauqif Ibni Taimiyah Minal Asya’irah, Dr. ‘Abdurrahman bin Shalih bin Shalih Al-Hamud (tesis doktoral).
14. Da’wah Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, Shalahuddin Maqbul
15. Al-Ushul Al-Fikriyah Lil Manahij As-Salafiyah, Syaikh Khalid Al-‘Ik
16. Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi.
1 Apa yang diuraikan di sini hanyalah sebagian contoh. Wallahu a’lam.
2 Ahli Atsar adalah golongan yang mengambil ajaran aqidah mereka melalui periwayatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Kitab-Nya atau sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta yang shahih dari salafus shalih, baik dari kalangan sahabat dan tabi’in, bukan dari ahli bid’ah dan ahwa’.
3 Hasyawiyah, dari kata hasywu orang kebanyakan (keumuman manusia).
4 Jabriyah: meyakini bahwa manusia tidak punya kehendak dalam melakukan perbuatannya, bahkan itu semata-mata kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga mereka menganggap manusia seperti sebuah pohon yang ditiup angin, mengikuti arah angin bertiup.
5 Nabitah, golongan ingusan, yang muda, baru tumbuh. Nashibah, yang menancapkan permusuhan terhadap ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan ahli bait serta berlepas diri dari mereka. (lihat ‘Aqidah Salaf Ash-habil Hadits hal. 304-305)
6 Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shafwan yang berkeyakinan meniadakan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mujassimah adalah golongan yang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki jasmani seperti jasmani manusia. Musyabbihah yaitu golongan yang menyerupakan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat manusia.
7 Lihat Khalqu Af’alil ‘Ibad karya Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu.
8 Golongan Mu’aththilah (yang menolak sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) ini terbagi dua, yang kulli (menolak sifat secara keseluruhan) seperti Jahmiyah dan para pengikutnya. Yang kedua, juz’i (menolak sebagian sifat), dan penolakan ini baik dengan penentangan atau dengan melakukan tahrif. Wallahu a’lam.
9 Tanzih: Menyucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari sifat-sifat tercela dan kekurangan.
10 Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (4/345), Kitab Al-Jana’iz
11 Sebagian besar dari Program Komputer Asy-Syamilah, kecuali 13, 14, 15 dan 16.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Keutamaannya dalam Ilmu Tafsir

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang nama lengkapnya adalah Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah bin Al-Khadhir Al-Harrani Ad-Dimasyqi, adalah seorang alim yang tidak ditemukan seorangpun di zamannya yang setara dengan beliau dalam berbagai hal. Baik dalam hal ilmu, lurusnya aqidah, semangat dalam beramal dan ketekunan dalam beribadah, maupun kesabaran dalam menghadapi berbagai cobaan yang menimpanya. Sosok beliau adalah salah satu di antara tokoh yang merupakan pembenaran terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajadah: 24)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata menjelaskan ayat ini: “Maka kesabaran dan keyakinan, dengan keduanya akan tercapai kepemimpinan dalam agama.” (Majmu’ Al-Fatawa, 3/358)
Keilmuan Beliau
Secara umum, beliau memiliki kelebihan dalam berbagai cabang ilmu. Hal ini dipersaksikan oleh murid-muridnya dan orang yang pernah bertemu dengannya. Di antara yang mempersaksikannya adalah Al-‘Allamah Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullahu. Beliau berkata:
“Tatkala aku berkumpul dengan Ibnu Taimiyah, aku melihat seorang lelaki yang semua ilmu ada di hadapan matanya. Dia mengambil apa saja yang dia inginkan dan meninggalkan apa saja yang dia inginkan.”
Demikian pula yang dikatakan oleh Al-‘Allamah Kamaluddin Ibnu Az-Zamlakani rahimahullahu:
“Adalah beliau jika ditanya tentang satu cabang ilmu, orang yang melihat dan mendengarnya menyangka bahwa beliau tidak mengerti kecuali ilmu tersebut –karena sangat menguasai ilmu tersebut, red.–. Orang yang melihat juga menyimpulkan bahwa tidak seorangpun yang memiliki ilmu seperti dia. Jika para fuqaha dari berbagai mazhab duduk bersama beliau, mereka mendapatkan faedah tentang mazhab mereka dari beliau yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Tidak pula diketahui bahwa jika beliau berdebat dengan seseorang lalu hujjah beliau terputus (kehabisan dalil, red.). Tidaklah beliau berbicara tentang satu cabang ilmu, baik yang menyangkut ilmu syar’i atau yang lainnya, melainkan beliau mengalahkan orang yang takhassus (spesialisasinya, red.) dalam ilmu tersebut serta yang menisbahkan dirinya kepada ilmu tersebut. Beliau memiliki andil besar dalam membuat karya tulis yang bagus, ungkapan yang indah, sistematis, pembagian (pengklasifikasian), dan penjelasan.” (Al-‘Uqud Ad-Durriyyah, 23-24)
Jamaluddin Abul Hajjaj Al-Mizzi rahimahullahu berkata:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَعْلَمَ بِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ وَلَا أَتْبَعَ لَهُمَا مِنْهُ
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih berilmu akan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta lebih semangat dalam mengikuti keduanya daripada beliau (Ibnu Taimiyah, pen.).” (Al-‘Uqud Ad- Durriyyah, Ibnu Abdil Hadi, hal. 23)
Kelebihan Beliau dalam Ilmu Tafsir
‘Umar Al-Bazzar berkata dalam kitabnya Al-A’lam Al-’Aliyyah Fi Manaqib Ibni Taimiyah: “Adapun kelebihan ilmunya, di antaranya adalah pengetahuan beliau akan ilmu Al-Qur`an yang mulia, kemampuan menggali faedah yang terkandung di dalamnya, penukilannya atas ucapan para ulama dalam penafsirannya serta menyebutkan penguat-penguatnya dengan dalil-dalil, dan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan berupa keajaiban-keajaiban-Nya dan berbagai hikmah-Nya, kefasihan, kepandaian, yang beliau capai dan puncak ilmu yang beliau bersandar kepadanya.
Jika dibacakan di majelis beliau beberapa ayat dari Al-Qur’an Al-‘Azhim, maka beliau mulai penafsirannya hingga majelis selesai dan pelajaran berakhir dalam keadaan beliau baru menafsirkan sebagian ayat. Adalah majelis beliau berlangsung selama seperempat siang hari. Beliau melakukan hal tersebut secara spontan tanpa ada seorang pembaca ditunjuk untuk membacakan kepadanya sesuatu yang telah ditentukan, yang telah beliau persiapkan penafsirannya di malam hari. Namun orang yang hadir membaca apa yang mudah baginya lalu beliaupun mulai menafsirkannya. Biasanya, beliau tidak menghentikan pembicaraannya melainkan orang-orang yang hadir memahami bahwa kalaulah bukan karena waktu pelajaran telah selesai, tentu beliau akan menyebutkan hal-hal lain yang menjelaskan penafsiran makna yang terkandung di dalamnya. Namun beliau menghentikannya karena melihat kemaslahatan para hadirin. Sungguh beliau telah membacakan tafsir قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ yang termuat dalam satu jilid besar. Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى yang termuat dalam sekitar 35 lembar kertas. Telah sampai berita kepadaku bahwa beliau memulai mengumpulkan tafsir, sekiranya beliau menyelesaikannya, tentu akan mencapai 50 jilid.” (Al-A’lam Al-’Aliyyah Fi Manaqib Ibni Taimiyah, hal. 2-3, dari Al-Maktabah Asy-Syamilah)
Asy-Syaikh ‘Alamuddin Al-Barzali berkata dalam Mu’jam Syuyuukhihi: “Beliau seorang imam yang telah disepakati keutamaan, kepandaian dan kebenaran agamanya. Dia membaca fiqih dan menjadi pakarnya. Demikian pula ilmu bahasa arab dan ushul. Beliau mahir pula dalam dua cabang ilmu: ilmu tafsir dan hadits. Beliau adalah seorang imam yang tidak terlampaui dalam segala sesuatu. Ia telah mencapai kedudukan mujtahid dan telah terkumpul pada diri beliau syarat-syarat mujtahid. Jika beliau menyebut tafsir maka yang lain terdiam disebabkan banyaknya hafalan beliau dan bagusnya dalam menyampaikan. Dan beliau meletakkan setiap ucapan pada tempatnya yang sesuai dalam men-tarjih, melemahkan, atau membatalkan.” (Al-’Uqud Ad-Durriyyah, hal. 28-29)
Beberapa Faedah Beliau dalam Ilmu Tafsir
Tatkala beliau menjelaskan tentang keutamaan merujuk kepada tafsir salafush shalih dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tabi’in, disebabkan karena zaman mereka merupakan zaman di mana kaum muslimin bersatu dan sedikit perselisihan di antara mereka, beliau berkata:
“Oleh karena itu, perselisihan di kalangan para sahabat dalam penafsiran Al-Qur`an sangat sedikit. Meskipun di kalangan tabi’in lebih banyak perselisihan dibanding para sahabat, namun mereka (tabi’in) lebih sedikit jika dibandingkan pada zaman setelah mereka. Setiap kali terdapat zaman tersebut lebih mulia, maka persatuan, kesepakatan, ilmu, dan kejelasan lebih banyak. Di kalangan tabi’in ada yang mengambil semua penafsiran dari para sahabat, seperti yang dikatakan oleh Mujahid rahimahullahu: ‘Aku membacakan mushaf kepada Ibnu ‘Abbas c, aku menghentikannya pada setiap ayat dan aku bertanya tentangnya.’
Oleh karena itu, Ats-Tsauri rahimahullahu berkata: ‘Jika datang kepadamu tafsir dari Mujahid, maka cukupkanlah dengannya.’ Oleh karena itu, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Bukhari, dan selainnya dari kalangan para ulama rahimahumullah merujuk pada penafsirannya. Demikian pula Al-Imam Ahmad rahimahullahu dan yang lainnya dari kalangan penulis tafsir, sering menyebutkan jalur riwayat dari Mujahid rahimahullahu lebih banyak dari yang lain.” (Syarah Muqaddimah Fi Ushul Tafsir, hal. 25-26)
Beliau juga menjelaskan bahwa sebab-sebab munculnya banyak penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an adalah karena penyimpangan dari tafsir yang telah dijelaskan oleh para ulama salafush shalih, dan bermunculannya kelompok ahli bid’ah yang kemudian menafsirkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan hawa nafsunya. Beliau berkata:
“Secara umum, barangsiapa berpaling dari mazhab para sahabat dan tabi’in serta penafsiran mereka, kepada sesuatu yang menyelisihi mereka, maka dia telah terjatuh dalam kesalahan, bahkan dia telah berbuat bid’ah. Adapun jika dia seorang mujtahid, maka diampuni kesalahannya.
Maka yang dimaukan adalah menjelaskan jalan-jalan ilmu, dalil-dalilnya, dan jalan-jalan kebenaran. Kita telah mengetahui bahwa Al-Qur’an telah dibaca oleh para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Dan mereka lebih mengetahui tentang penafsiran serta makna-maknanya. Sebagaimana mereka adalah orang yang paling mengetahui tentang kebenaran yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala utus Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang menyelisihi ucapan mereka dan menafsirkan Al-Qur`an namun menyelisihi penafsiran mereka, maka sungguh dia telah keliru dalam penempatan dalil dan pemahaman.”
Lalu beliau berkata: “Yang diinginkan di sini adalah memberikan peringatan atas munculnya perselisihan dalam penafsiran. Dan bahwa di antara sebab terbesar terjadinya hal tersebut adalah bid’ah-bid’ah yang batil, yang menyeru para pelakunya untuk mengubah ayat-ayat tersebut dari tempatnya, dan menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan selain apa yang dimaukan, serta menakwilkannya bukan pada takwil yang sebenarnya.” (Syarah Muqaddimah Ushul At-Tafsir hal. 125-126)
Demikian pula tatkala beliau menjelaskan tentang kondisi kitab-kitab tafsir yang ada. Beliau mengatakan: “Adapun kitab-kitab tafsir yang ada di tangan manusia, maka yang paling shahih adalah tafsir Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Dia menyebutkan ucapan-ucapan salaf dengan sanad-sanad yang tsabit dan tidak terdapat padanya bid’ah. Dia tidaklah menukil dari orang-orang yang tertuduh (berdusta) seperti Muqatil bin Bukair dan Al-Kalbi. Adapun tafsir-tafsir yang tidak menyebutkan riwayat-riwayat dengan sanad amat banyak, seperti tafsir Abdurrazzaq, ‘Abd bin Humaid, Waki’, Ibnu Abi Qutaibah, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahuyah.
Adapun tiga kitab tafsir yang dipertanyakan, maka yang paling selamat dari bid’ah dan hadits-hadits yang lemah adalah tafsir Al-Baghawi. Namun tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsir Ats-Tsa’labi di mana Al-Baghawi menghapus hadits-hadits palsu dan bid’ah-bid’ah yang terdapat di dalamnya serta menghapus beberapa hal lain. Adapun tafsir Al-Wahidi, dia adalah murid Ats-Tsa’labi dan lebih berilmu dari gurunya dalam hal bahasa Arab. Namun Ats-Tsa’labi lebih selamat dari beberapa bid’ah, meskipun dia menyebutkannya hanya karena taqlid kepada yang lain. Tafsirnya (Al-Wahidi) singkat, ringkas dan sederhana, terkandung beberapa faedah yang agung, namun banyak terdapat penukilan-penukilan yang batil dan selainnya. Adapun tafsir Az-Zamakhsyari, tafsirnya penuh dengan bid’ah dan sejalan dengan metode Mu’tazilah dalam hal mengingkari sifat-sifat (Allah Subhanahu wa Ta’ala), mengingkari ru’yah (kaum mukminin melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat, pen.), menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, dan mengingkari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak atas segala sesuatu dan menciptakan perbuatan-perbuatan hamba, serta pokok-pokok pemikiran kaum Mu’tazilah yang lainnya.”
Lalu beliau berkata: “Tafsir Al-Qurthubi lebih baik dari tafsir Az-Zamakhsyari dan lebih mendekati jalan orang yang berpegang kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, serta lebih jauh dari bid’ah. Meskipun semua kitab ini tetap saja mengandung sesuatu yang dikritik, namun wajib bersikap adil di antara kitab-kitab tersebut dan memberikan setiap hak kepada yang berhak memilikinya. Tafsir Ibnu ‘Athiyyah lebih baik dari tafsir Az-Zamakhsyari dan lebih benar dalam hal penukilan dan pembahasannya serta lebih jauh dari bid’ah meskipun ada pada sebagiannya. Namun jauh lebih baik, bahkan ini adalah kitab tafsir yang paling shahih, (yaitu) tafsir Ibnu Jarir adalah yang paling shahih dari semuanya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 13/385-3
Wallahu a’lam bish-shawab.
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=745

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management