Pengantar
Cobaan bertubi sepertinya tak henti menjumpai Ibnu Taimiyah bahkan hingga lebih dari 700 tahun dari wafatnya, namun
perumpaan beliau layaknya cendana yang memang harus dibakar agar
tercium wanginya, dan terbukti bahwa wangi dan keagungannya tak lekang
oleh zaman
.
Kali ini tuduhan aneh menyambangi beliau.
Bagaiman tidak aneh, atas dasar
permusuhannya dengan Aqidah takwillah beliau keluar masuk penjara dan
bahkan menghembuskan nafas terakhirnya dibalik jeruji besi didalam
benteng yang kokoh.
hal ini adalah sesuatu yang umum
dikalangan sahabat, murid dan musuhnya. Permusuhan beliau dengan Aqidah
takwil khususnya Asya’irah tidak mungkin samar lagi. Kalaulah beliau
melakukan takwil dalam memahami nash-nash terkait asma dan sifat Allah,
maka apa arti permusuhan dengan orang-orang yang mempertahankan aqidah
tersebut dan apapula arti dari pembelaan murid-murid beliau terhadap
keyakinan gurunya itu.
Mari kita ulas keanehan ini dengan
memohon taufik dan hidayah semoga pembahasan dan mungkin diskusi terkait
tema ini adalah hanya mengharapkan ridho dari Allah Subhanahu Wataala.
Makna Takwil
Disini harus didudukkan makna takwil
berdasarkan pendapat salaf yang diikuti oleh ibnu Taimiyah dan
pengikutnya yang menjulukkan diri sebagai Salafi agar kita dapat membuat
keputusan yang adil tentang sikap ibnu Taimiyah yang sebenarnya tentang
Takwil
- Takwil menurut Kholaf dan Asya’irah
Takwil dikalangan Kholaf sangat popular dengan makna:
صرف اللفظ عن الظاهر بقرينة تقتضي ذلك
Takwil adalah memalingkan sebuah kata dari Žahirnya dengan petunjuk-petunjuk yang menyertainya.
Definisi ini merupakan istilah Mutaakhirin yang berbeda dengan takwil secara bahasa dan perkataan salaf
- Takwil Menurut Salaf dan Ibnu Taimiyah
Dalam Mukhtar Shihhâh dikatakan:
التأويل تفسير ما يؤول إليه شيئ تقتضي ذلك
Ta’wil adalah tafsir yang dikembalikan sesuatu kepadanya
[1]
Dalam Lisaanul arab dikatakan bahwa ia berarti
رجع و عاد yang artinya kembali
[2]
Secara ringkas dalam bahasa arab kata takwil bermuara kepada dua hal:
Pertama: tempat kembalinya sesuatu, yaitu hakikat yang perkataan dikembalikan kepadanya.
sebagaiman kita tahu bahwa kalam itu bisa Khobariyah atau Thalabiyah, maka:
Takwil Khobar adalah hakikat dan kejadiannya (kejadian yang sebenarnya): Seperti dalam firman Allah :
هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ
Artinya: inilah ta’wil mimpiku yang dahulu itu
maksudnya inilah hakikat dan kejadian sebenarnya dari mimpi yang pernah dia alami
[3]
Allah juga berfirman:
هَذَا
تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْهَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا تَأْوِيلَهُ يَوْمَ
يَأْتِي تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِنْ قَبْلُ
Artinya: Tiadalah mereka
menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al Quran itu. Pada
hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu, berkatalah
orang-orang yang melupakannya sebelum itu
Maksudnya: mereka hanyalah menunggu terjadinya hal yang sama dengan yang diberitakan oleh Allah berupa janji dan ażab
Sedangkan ta’wil Thalabiyah yang
merupakan amr (perintah) dan nahy (larangan) adalah sama dengan
perbuatan yang diperintahkan untuk melaksanakannya dan beramal dengannya
dan juga sama dengan larangan yang ditinggalkan. Hal ini seperti
perkataan Aisyah Radiyallâhu anhu:
((كان النبيّ صلّى الله عليه وسلّم يقول في ركوعه وسجوده؛ سبحانك اللهم ربنا وبحمدك، أللهمّ اغفرلي. يتأوّل القرآن؟))
Artinya: Nabi Shallallâhu alaihi Wasallam pernah membaca:
سبحانك اللهم ربنا وبحمدك، أللهمّ اغفرلي
pada ruku dan sujudnya. (Aisyah berkata) : engkau mentakwilkan Al qur’an?
Maksudnya apakah engkau melaksanakan amalan sesuai dengan firman Allah:
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ
Artinya:
maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.[4]
Kedua: takwil dengan makna tafsir
Yaitu perkataan yang digunakan untuk
menjelaskan sebuah lafaz hingga dapat dipahami maknanya. Inilah yang
dimaksud dari perkataan para Mufassirin
تأويل قوله تعالى yang sering digunakan oleh para Mufassirin
[5]. Bahkan Ibnu Jarir al Thabarî menamai kitabnya:
جامع البيان عن تأويل آي القرآن
Berdasarkan makna yang pertama maka
takwil dari apa yang diberitakan oleh Allah tentang sifat dan
perbuatanNya adalah sama dengan keadaan yang sebenarnya. Hal tersebut
adalah hak Allah subhanahu wataala yang tidak diketahui oleh selainNya
dan tidak ada celah bagi kita untuk mengetahuinya dan melingkupinya
[6].
Berdasarkan makna yang pertama ini juga maka waqaf jatuh setelah kata berikut: وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ
Sedangkan berdasarkan makna kedua maka
takwil tentang apa yang diberitakan Allah mengenai sifat-sifatnya yang
tinggi adalah tafsir dan pemahaman makna dari apa yang Ia beritakan
tentang dirinya yang memiliki sifat-sifat yang agung dan tinggi. Inipun
dikenal dalam bahasa yang Allah gunakan kepada manusia dan kita pahami
dengan perantaraan bahasa tersebut, namun dengan pemahaman bahwa Allah
tidak sama dengan apapun baik zatNya, SifatNya, maupun perbuatannya.
Berdasarkan makna ini maka waqaf jatuh setelah kata berikut: وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ
Sebagaimana mazhab kebanyakan ulama Salaf.
Ibnu Jarîr berkata: Ahli takwil (tafsir, red) berselisih tentang takwilnya, apakah kata الراسخون menjadi athaf dari lafadz ألله
yang berarti mereka dapat mengetahui ayat yang mutasyabih ataukah itu
adalah isti’naf (kalimat baru selanjutnya) yang disebutkan untuk
memberitakan mereka (orang-orang yang mendalam ilmunya) yang berkata
bahwa mereka beriman kepada ayat-ayat mutasyabih termasuk menyatakan
bahwa pengetahuan tentang ayat-ayat tersebut hanyalah dimiliki oleh
Allah.
Sebagian dari mereka mengatakan: maknanya adalah tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah saja dengan pengetahuannya.
Adapun kata الراسخون في العلم
adalah kalimat selanjutnya yang menyatakan bahwa mereka beriman kepada
ayat-ayat mutasyabih dan Muhkam serta semua itu berasal dari sisi Allah.
Kemudian beliau menyebutkan yang berpendapat demikin…. : Aisyah, ibnu
Abbas, urwah, Abi Nahik, dll.
Yang lain berkata: maknanya adalah tidak
ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang
mendalam ilmunya. dengan memiliki pengetahuan dan kedalaman ilmunya
tersebut mereka tetap mengatakan “Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Kemudian beliau
menyebutkan yang berpendapat demikin…. : Ibnu Abbas, Mujahid, Rabî’ bin
Anas, dan Muhammad bi Ja’far bin Zubair, dll
[7]
Inilah takwil yang dimaksud oleh para
salaf dan juga Ibnu Taimiyah ketika dia mengikuti mereka dalam
menjelaskan beberapa makna ayat-ayat sifat.
Ibnu Taimiyah berkata:
وأما الذي أقوله الآن واكتبه وإن كنت لم اكتبه – فيما تقدم من أجوبتي
وإنما أقوله في كثير من المجالس – إن جميع ما في القرآن من آيات الصفات
فليس عن الصحابة اختلاف في تأويلها
وقد طالعت التفاسير المنقولة عن الصحابة وما رووه من الحديث ووقفت من ذلك
على ما شاء الله تعالى من الكتب الكبار والصغار اكثر من مائة تفسير فلم أجد
– إلى ساعتي هذه – عن أحد من الصحابة انه تأول شيء من آيات الصفات أو
أحاديث الصفات بخلاف مقتضاها المفهوم المعروف بل عنهم من تقرير ذلك وتثبيته
وبيان أن ذلك من صفات الله ما يخالف كلام المتأولين ما لا يحصيه إلا الله
Adapun yang aku katakan sekarang dan aku tulis sekalipun aku
belum pernah menulisnya dalam jawaban-jawabanku adalah bahwa semua yang
ada di qur’an berupa ayat-ayat sifat tidak pernah didapat perselisihan
dari sahabat seputar takwilnya. Sungguh aku telah menelaah berbagai
tafsir yang dinukil dan diriwayatkan dari para sahabat dan
hadits-hadits. Aku juga telah membaca-Masya Allah- banyak dari
kitab-kitab para pembesar dan Sighar lebih dari seratus tafsir, namun
sampai saat ini aku belum mendapatkan satupun dari sahabat yang
mentakwilkan ayat-ayat atau hadits-hadits sifat dengan tafsiran yang
menyelisihi tuntutan-tuntutan makna yang dipahami dan populer. Bahkan
yang aku dapat adalah persetujuan, penetapan, dan penjelasan mereka
bahwasanya hal tersebut termasuk sifat-sifat Allah yang menyelisihi
perkataan tukang-tukang takwil yang tidak terhitung jumlahnya.[8]
Dalam penjelasan ibnu taimiyah jelaslah
bagi kita bahwa para sahabat juga melakukan takwil yang bermakna tafsir
terhadap ayat-ayat sifat, namun Ibnu Taimiyah juga mengatakan:
Bahkan yang aku dapat adalah
persetujuan, penetapan, dan penjelasan mereka bahwasanya hal tersebut
termasuk sifat-sifat Allah yang menyelisihi perkataan tukang-tukang
takwil yang tidak terhitung jumlahnya.
Point penting dalam bahasan ini adalah
bahwa ta’wil dengan makna tafsir justeru memperkuat istbat atau
penetapan sifat-sifat Allah. Hal ini terbukti dengan banyaknya
penjelasan salaf tentang Sifat-sifat Allah misalnya Allah Ta’ala
bersemayam di atas Arsy. Di dalam ayat disebutkan Ar-Rahmaanu ‘alal ‘arsy istawaa. Secara bahasa istiwa’ itu memiliki empat makna yaitu:
1. ‘ala (tinggi)
2. Irtafa’a (terangkat)
3. Sho’uda (naik)
4. Istaqarra (menetap)
Imam Bukhari membuat bab khusus tentang istiwa dengan teks berikut:
باب قوله و كان عرشه على الماء و هورب العرش العظيم قال ابو العالية استوى
الى السماء ارتفع فسو هن خلقهن و قال مجاحد استوى على العرش علا على العرش
Ibnu Taimiyah juga mengatakan:
“Sesungguhnya lafadz ta’wil menurut
pemahaman orang-orang yang suka bertentangan (yakni Ahlul Kalam),
bukanlah ta’wil yang dimaksud dalam At-Tanzil (wahyu yang diturunkan).
Bahkan bukan pula yang dikenal oleh para ulama tafsir terdahulu.
Sesungguhnya para ulama tafsir Al-Qur’an
terdahulu memahami lafadz ta’wil dengan maksud tafsir. Ta’wil semacam
ini dapat diketahui oleh ulama yang mengetahui tafsir Al-Qur’an. Oleh
sebab itulah Imam Mujahid, imamnya ahli tafsir dan murid Ibnu Abbas,
pernah menanyakan seluruh tafsir Al-Qur’an kepada Ibnu Abbas, dan Ibnu
Abbas pun telah menjelaskan tafsir seluruhnya. Ketika beliau (Mujahid)
mengatakan : “Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar ahlil-ilmi
(Ar-Rasikhum fi Al-’Ilmi) jika memahami tentang ta’wil, maka maksud
ta’wil itu adalah tafsir yang telah disebutkan pada ibnu Abbas”.
Adapun lafal ta’wil menurut At-Tanzil
(wahyu yang diturunkan), maknanya adalah “hakikat”, yakni sesuatu yang
menjadi asal sebuah pembicaraan. Dan itu sama dengan hakikat-hakikat
yang telah diberitakan oleh Allah Ta’ala, misalnya ta’wil tentang hari
akhir yang telah diberitakan oleh Allah ialah kejadian yang akan terjadi
di hari akhir itu sendiri (hakikat kejadiannya). Ta’wil tentang apa
yang Dia beritakan mengenai Diri-Nya itu sendiri yang Maha Suci lagi
tersifati dengan sifat-sifat Maha Tinggi. Ta’wil (dalam arti hakikat)
inilah yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala sendiri.
Oleh karena itulah kaum salaf mengatakan
:”Istiwa’ telah dimaklumi (maknanya), sedangkan bagaimana hakikatnya itu
majhul (tidak dapat diketahui)”. Untuk itu kaum salaf mengistbatkan
(menetapkan) pengetahuan tentang Istiwa’. Inilah yang disebut ta’wil
dalam arti tafsir, yaitu memahami makna yang dimaksud oleh suatu
pembicaraan, sehingga dapat merenungi, memahami dan mengerti.
Sedangkan perkataan mereka “Al-Kaif
(bagaimana hakikatnya) adalah majhul (tidak dapat diketahui). Hal ini
adalah ta’wil yang hanya bisa diketahui oleh Allah semata, yaitu tentang
hakikat yang tiada satu mahluk pun dapat mengetahuinya”.
[9]
Adapun istilah yang digunakan oleh para
Mutaakhirin dari kalangan Muatthilah berbeda dengan definisi diatas
dimana mereka mengatakan bahwa takwil adalah: Memalingkan
[10] lafaz dari zohirnya dan hakikatnya kepada majaz dan apa yang berbeda dengan zohirnya dengan adanya penyertaan (Qarinah)
[11]. Ini adalah istilah yang baru.
Mereka menjadikan Qarinah-qarinah
untuk memalingkan makna sifat-sifat Allah dari zohirnya dan hakekatnya
berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh akal mereka bukan berdasarkan apa
yang ditunjukkan oleh Atsar dan yang telah disepakati oleh salaf. Mereka
menjadikan akal mereka sebagai hakim untuk sifat-sifat Allah yang
merupakan hakikat dan yang bukan hakikat. Bukan berdasarkan dalil-dalil
Naqli berupa ayat-ayat, hadits, maupun qaul Salaf.
Inilah jenis takwil yang telah dikarang oleh Abu Bakr bin Faurak
[12]
dalam sebuah kitab yang berjudul “ Ta’wîl al Musyki al Qur’ân” dan
dibantah oleh Qadhî Abu Ya’la dengan sebuah kitab yang berjudul “ibthâl
al ta’wîlât fî akhbâ al Shifât”. Begitu juga Ibnu Qudamah yang telah
mencela takwil dengan kitabnya yang berjudul “Zamm al ta’wîl”
Batalnya klaim-klaim takwil oleh salaf terkait ayat-ayat sifat
Yang sering terjadi dalam klaim-klaim
orang-orang yang menukil takwil tentang ayat-ayat sifat dari kaum salaf
yang dilakukan oleh kalangan Asya’irah lalu mereka jadikan pembelaan
untuk melakukan pemalingan makna terhadap semua ayat-ayat sifat adalah
sebagai berikut:
- klaim itu tidak benar karena tidak ada sumbernya atau dhoif
sanadnya, atau menyalahi perkataan yang lebih masyhur dari salaf
tersebut
- tidak sesuai dengan tempatnya, seperti takwilan tersebut bukanlah
pada nash-nash yang terkait dengan ayat-ayat sifat atau diperselisihkan
sebagai ayat sifat
- tidak memahami perbedaan takwil bathil yang berarti pemalingan makna dengan takwil yang bermakna tafsir.
Sebagai contoh yang sering adalah klaim
bahwa Mujahid, Al Dhahak, Al Syafii, dan al Bukhârî mentakwil lafadz
wajah dalam firman Allah taala : فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
Dengan mengatakan bahwa Mujahid berkata: Qiblatullah dan Imam Syafii mengatakan
تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّه:فثمّ الوجه الذي وجهكم الله إليه
yaitu arah yang ditunjukkan oleh Allah bagi kalianِ.
Jawabannya dari semua itu adalah bahwa
ayat ini termasuk yang diperselisihkan oleh salaf ayat sifat atau
bukan. Kebanyakan salaf menganggapnya bukan ayat sifat maka mereka
mentafsirkannya sebagaimana telah disebutkan diatas.
Hal ini karena الوجه dalam bahasa arab
terkadang berarti arah, dan inilah yang populer. Dzohir ayat menunjukkan
bahwa yang dimaksudkan adalah arah bukan sifat Allah, yang semisal ini
bukanlah takwil karena takwil berdasarkan pemahaman mutaakhirin adalah
memalingkan ayat dari maksud, penunjukkan, dan arti yang dikenal.
Seluruh penukilan tafsir ayat ini adalah
sehubungan dengan pendapat mereka bahwa ayat ini bukanlah ayat sifat.
Adapun dalam ayat lain yang merupakan ayat sifat mereka menetapkan bahwa
Allah memiliki wajah dalam arti yang hakiki
Al-Qadli Abu Ya’la rahimahullah
meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullah bahwa beliau berkata :
وأن له يدين بقوله (بل يداه مبسوطتان) وأن له يميناً بقوله (والسموات
مطويات بيمينه) , وإن له وجهاً بقوله (كل شيء هالك إلا وجهه), وقوله (ويبقى
وجه ربك ذو الجلال والإكرام) وأن له قدماً بقول النبي صلى الله عليه وسلم
(حتى يضع الرب عز وجل فيها قدمه) يعني جهنم
“Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan dengan dalil
firman-Nya : “Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah :
64). Dia juga memiliki wajah dengan dalil firman Allah : “Tiap-tiap
sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah” (QS. Al-Qashaash : 88) dan
juga firman-Nya : “Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran
dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dia juga mempunyai kaki dengan
dalil sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Hingga Rabb (Allah)
‘azza wa jalla meletakkan kaki-Nya padanya…” (HR. Bukhari dan Muslim)
yaitu pada neraka”
[13]
Adapun yang diriwayatkan dari Mujahid, al Dhahak, Abu ubaidah, dan Bukhari tentang firman Allah taala : كل شيء هالك إلا وجهه
bahwa al Dhahak dan Abu Ubaidah berkata: artinya kecuali Dia, Maka ini
bukanlah pemalingan makna sama sekali, karena sesuatu terkadang
diungkapkan dengan sebagian kriterianya, maka maksud إلا وجهه adalah zatNya yang disifatkan dengan beberapa sifat diantaranya لوجه
dan ini jelas karena tidak sama sekali menafikan sifat Allah Taala.
Allah mengungkapkan zatNya dengan menyebutkan salah satu sifatnya yaitu
wajah Allah taala.
Adapun riwayat dari Imam Bukhari serta Mujahid mengatakan: kecuali apa yang dilakukan untuk menharapkan wajahnya.
Maka hal ini merupakan tafsir yang sesuai
dengan syariat dimana segala sesuatu yang dilakukan memang harus
diniatkan untuk Allah Subhanahu wataala.
Namun begitu, hal tersebut tidak dimaksudkan untuk menolak penetapan sifat Allah yang memiliki wajah yang sesuai
dengan keagungan dan kebesaran Allah Subahanahu Wataala. Dalam mentafsirkan firman Allah Subahanahu Wataala:
للذين احسنوا الحسنى والزيادة
Al imam Daruquthni meriwayatkan dalam kitab al ru’yah dari al dhahak ia berkata:
Al ziyadah adalah memandang wajah Allah ajja Wajalla
[14]
al Lalikâi juga menyandarkan kepada Mujahid dari jalan ibnu abi Hatim bahwasanya ia berkata :
للذين احسنوا الحسنى والزيادة ia berkata: Al Husna adalah Syurga dan Al ziyâdah adalah memandang Rabb.
[15]
Imam Bukhari menetapkan Wajah Allah
sesuai dengan Kesempurnaan Sifat Allah, tanpa beliau palingkan pada
makna lain. Bagaimana kita tahu bahwa beliau menetapkan ‘Wajah’ bagi
Allah? Bisa kita simak dalam kitab Shahih beliau sendiri pada bagian
yang lain. Beliau menempatkan bab tersendiri dalam penafsiran ayat itu,
kemudian menyebutkan riwayat hadits yang menjelaskan kandungan bab itu
sendiri.
Imam al Bukhâri menyatakan dalam kitab Shahihnya:
بَاب قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ}
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرٍو
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ {
قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ
فَوْقِكُمْ } قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعُوذُ
بِوَجْهِكَ فَقَالَ{ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ } فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعُوذُ بِوَجْهِكَ قَالَ { أَوْ
يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا } فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ هَذَا أَيْسَرُ
“Bab firman Allah Ta’ala : ‘Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya’
Telah memberitahukan kepada kami Qutaibah
bin Sa’id (ia berkata) telah memberitahukan pada kami Hammad bin Zaid
dari ‘Amr dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: ketika turun ayat ini :
‘Katakan: Dialah (Allah) Yang mampu untuk mengirim adzab dari atas
kalian’, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Aku berlindung
kepada WajahMu’, kemudian firman Allah : ‘atau dari bawah kaki kalian’,
Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘aku berlindung kepada
WajahMu’, kemudian firman Allah: atau Dia mencampurkan kamu dalam
golongan-golongan (yang saling bertentangan), Nabi shollallaahu ‘alaihi
wasallam berkata: ‘Ini lebih ringan’
Telah dimaklumi di kalangan para Ulama’
Ahlul hadits bahwa pemilihan riwayat hadits dalam suatu bab merupakan
representasi pemahaman Imam Bukhârî terhadap makna yang ada pada bab
tersebut.ini terungkap dalam sebuah kaedah :
فقه البخاري في بابه
Pemahaman Bukhâri terletak pada babnya, yaitu kesimpulan
tentang pendapat beliau mengenai suatu masalah biasanya
direpresentasikan dalam bab yang beliau buat. Ketika Imam Bukhârî
menyebutkan hadits perkataan/ doa Nabi: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’,
beliau tidaklah mentakwilkan ucapan Nabi tersebut pada makna-makna
lain.. Beliau sekedar menyebutkan riwayat itu saja. Dari sini juga kita
bisa melihat bahwa Imam Bukhârî menjadikan hadits tersebut sebagai
tafsir dari wajah. Ini menunjukkan bahwa Imam Bukhârî menetapkan Sifat
‘Wajah’ bagi Allah tanpa mentahrif (memalingkan) pada makna yang lain.
Mungkin masih tersisa pertanyaan: ‘Jika
benar Imam Bukhârî memilih pendapat yang kedua dalam menafsirkan ayat
itu, bukankah juga berarti beliau menakwilkan ayat tersebut. Kalimat:
‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali Wajah Allah’ ditakwilkan sebagai
‘Segala sesuatu akan binasa kecuali yang mengharapkan Wajah Allah’.
Benar, itu adalah takwil yang beliau lakukan sebagaimana penakwilan al
Tsaurî. Penakwilan tersebut tidaklah batil, karena memang dipahami dari
ucapan lafadz Arab.
Al-Imam al Thobâry menyatakan dalam tafsirnya juz 19 halaman 643 bahwa penafsiran tersebut sesuai dengan perkataan syair:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ ذَنْبًا لَسْتُ مُحْصِيهُ… رَبُّ العِبادِ إلَيْهِ الوَجْهُ والعَمَلُ
“Aku memohon ampun kepada Allah dari dosa yang aku tak mampu menghitungnya…
(Dialah) Rabb hamba-hamba, kepadaNyalah wajah (kehendak) dan amalan
Lafadz الوجه
(wajah) dalam kalimat syair tersebut berarti kehendak dan keinginan.
Takwil yang demikian bukanlah takwil yang batil, karena merupakan salah
satu penjelasan terhadap makna kalimat yang sesuai dengan konteks bahasa
Arab yang biasa dipahami. Selain itu, penakwilan ini tidaklah menafikan
penetapan ‘Wajah’ bagi Allah sesuai dengan Keagungan, Kemulyaan, dan
Kesempurnaan Allah, yang tidak sama dengan makhlukNya, dan tidak
diketahui kaifiyatnya kecuali Allah.
Ibnu taimiyah mengatakan : ta’wil dari
salaf jika berasal dari sahabat maka hal itu diterima, karena mereka
mendengarnya dari Rasul, Jika berasal dari selain mereka dan pengikut
mereka (tabiin) dan dijadikan pedoman oleh para Imam maka kita juga
menerimanya. Namun kalau ia menyendiri maka kita berpaling darinya
sebagaimana kita berpaling dari takwil kholaf.
[16]
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dan
praktek-praktek yang dilakukan Ibnu Taimiyah dalam banyak tulisannya
maka jelaslah bahwa komentar-komentar beliau terkait sifat Allah
hanyalah sebatas tafsiran yang berasal dari para pendahulu kaum muslimin
dari kalangan salaf dan sahabat. Kalaupun dia menulis dengan kata
takwil maka hal tersebut bermakna tafsir yang sangat berbeda dengan
pemahaman Mutaakhirin yang memalingkan makna atau bahkan merubah
(tahrif).
Tafsir-tafsir tersebut sama sekali tidak
menodai akidah terhadap Sifat Allah berupa penetapan sifat sebagai mana
datangnya dan sesuai dengan apa yang Allah sifatkan bagi diriNya tanpa
tahrif ta’thil dan tamsil. Beliau banyak menjelaskan hal ini dalam
kitab-kitabnya, maka ambillah pelajaran.
Wallahu a’lam Bisshowab
Semoga bermanfaat
Saudaramu: dobdob
Maraji:
- Al Asyâirah Fî Mizâni Ahli al Sunnah
- Mauqif Ibnu Taimiyah Min Asyâirah
- Majmu Fatâwa
- al Risâlah al Tadmuriyyah
- www.darussalaf.or.id
- www.almanhaj.or.id
[1] Mukhtar Sihhâh: unsur-unsur أول
[2] Lisân al arab: unsur-unsur أول
[3]
Diawal surat yusuf dijelaskan tentang cerita dimana planet-planet
bersujud padanya dan kejadian itu terjadi dimesir ketika beliau menjadi
salah seorang pembesar negeri itu. Itulah takwil atau kejadian yang
sebenarnya dari mimpi tersebut.
[4]
Maksudnya isi bacaan Rasulullah ketika ruku dan sujud berisi tasbih
dan istighfar sesuai dengan ayat dalam surat al Nashr ayat 3 tersebut
[5]
Perkataan seperti ini sering sekali ditemukan dalam tafsir-tafsir
semisal al Thabarî dan Ibnu katsir serta lain-lain ketika memulai
mentafsirkan sebuah ayat Al qur’an
[6]
Inilah yang merupakan ranah kaifiat yang kita jahil tentang hal
tersebut kecuali yang telah diberitakan oleh Allah, tidak ada jalan lain
kecuali menetapkan sesuai dengan dzohirnya, yakni yang sesuai dengan
keagungan dan kebesarannya tanpa takyif, tasybih dan tamsil.
[7]
Tafsir Ibnu Jarîr ( 3/182-183). Secara jelas juga bahwa waqaf dalam
ayat tersebut memiliki dua riwayat yang keduanya boleh digunakan dan
kedua pendapat tersebut memiliki Faidah yang melengkapi bukan
bertentangan
[9] Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, Ibnu Taimiyah, jilid 5/381-383, Tahqiq. Dr Muhammad Rosyad Salim
[10] Seharusnya mereka menyebutnya dengan istilah
tashrif (pemalingan) atau
tahrif (perubahan)
karena kata takwil sejatinya berkonotasi positif dan akrab ditelinga
kaum salaf. Mungkin mereka menggunakan istilah takwil demi untuk
dianggap baik lalu mereka menyebutkan sesuatu bukan dengan namanya untuk
mengaburkan pendengar.
[11]
Yaitu qarinah yang mereka klaim sebagai Tanzih (pensucian), namun
sejatinya justeru jurang yang menjerumuskan mereka kepada berbicara
tentang Allah yang mereka tidak memiliki ilmu tentang hal tersebut.
Mereka mengatakan bahwa istiwa bermakna istawla, karena kalau bermakna
istiwa maka sesuai pikiran sempit mereka akan membuat Allah sama dengan
makhluknya, padahal dengan memaknakan istawla justeru membuat
tandingan-tandingan bagi Allah karena dalam bahara arab istawla hanya
digunakan untuk Sesutu yang berkuasa setelah mengalahkan sesuatu. Apakah
Allah perlu mengalahkan sesuatu untuk menguasai alam semesta padahal ia
menciptakan yang tidak ada menjadi ada?
Wal iyadzu billah
[12] Salah seorang pemuka Asy’ariyah yang menjadi penyebar mazhab ini setelah sebelumnya redup
[13]
Thabaqat Al-Hanabilah oleh Al-Qaadliy Abu Ya’la Al-Farraa’, 2/269,
tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman bin Sulaiman Al-‘Utsaimin; Cet. Tahun. 1419
[14] Al Ru’yah al Dâruqutni 162
[15] Al-lâlikâi 3/454-463
[16]
Naqdhut ta’sis (manuskrip/2/20) nukilan dari atsar yang didapat dari
para Imam sunnah tentang bab I’tiqad dari kitab siyar a’lami al Nubalâ.