Senin, 08 Oktober 2012

Ibnu Taimiyah dan Ta’wil

Pengantar

Cobaan bertubi sepertinya tak henti menjumpai Ibnu Taimiyah bahkan hingga lebih dari 700 tahun dari wafatnya, namun perumpaan beliau layaknya cendana yang memang harus dibakar agar tercium wanginya, dan terbukti bahwa wangi dan keagungannya tak lekang oleh zaman
.
Kali ini tuduhan aneh menyambangi beliau.
Bagaiman tidak aneh, atas dasar permusuhannya dengan Aqidah takwillah beliau keluar masuk penjara dan bahkan menghembuskan nafas terakhirnya dibalik jeruji besi didalam benteng yang kokoh.
hal ini adalah sesuatu yang umum dikalangan sahabat, murid dan musuhnya. Permusuhan beliau dengan Aqidah takwil khususnya Asya’irah tidak mungkin samar lagi. Kalaulah beliau melakukan takwil dalam memahami nash-nash terkait asma dan sifat Allah, maka apa arti permusuhan dengan orang-orang yang mempertahankan aqidah tersebut dan apapula arti dari pembelaan murid-murid beliau terhadap keyakinan gurunya itu.
Mari kita ulas keanehan ini dengan memohon taufik dan hidayah semoga pembahasan dan mungkin diskusi terkait tema ini adalah hanya mengharapkan ridho dari Allah Subhanahu Wataala.
Makna Takwil
Disini harus didudukkan makna takwil berdasarkan pendapat salaf yang diikuti oleh ibnu Taimiyah dan pengikutnya yang menjulukkan diri sebagai Salafi agar kita dapat membuat keputusan yang adil tentang sikap ibnu Taimiyah yang sebenarnya tentang Takwil
  • Takwil menurut Kholaf dan Asya’irah
Takwil dikalangan Kholaf sangat popular dengan makna:
صرف اللفظ عن الظاهر بقرينة تقتضي ذلك
Takwil adalah memalingkan sebuah kata dari Žahirnya dengan petunjuk-petunjuk yang menyertainya.
Definisi ini merupakan istilah Mutaakhirin yang berbeda dengan takwil secara bahasa dan perkataan salaf
  • Takwil Menurut Salaf dan Ibnu Taimiyah
Dalam Mukhtar Shihhâh dikatakan:
التأويل تفسير ما يؤول إليه شيئ تقتضي ذلك
Ta’wil adalah tafsir yang dikembalikan sesuatu kepadanya[1]
Dalam Lisaanul arab dikatakan bahwa ia berarti رجع و عاد yang artinya kembali[2]
Secara ringkas dalam bahasa arab kata takwil bermuara kepada dua hal:
Pertama: tempat kembalinya sesuatu, yaitu hakikat yang perkataan dikembalikan kepadanya.
sebagaiman kita tahu bahwa kalam itu bisa Khobariyah atau Thalabiyah, maka:
Takwil Khobar adalah hakikat dan kejadiannya (kejadian yang sebenarnya): Seperti dalam firman Allah :
هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ
Artinya: inilah ta’wil mimpiku yang dahulu itu
maksudnya inilah hakikat dan kejadian sebenarnya dari mimpi yang pernah dia alami[3]
Allah juga berfirman:
هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْهَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِنْ قَبْلُ
Artinya: Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al Quran itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu
Maksudnya: mereka hanyalah menunggu terjadinya hal yang sama dengan yang diberitakan oleh Allah berupa janji dan ażab
Sedangkan ta’wil Thalabiyah yang merupakan amr (perintah) dan nahy (larangan) adalah sama dengan perbuatan yang diperintahkan untuk melaksanakannya dan beramal dengannya dan juga  sama dengan larangan yang ditinggalkan. Hal ini seperti perkataan Aisyah Radiyallâhu anhu:
((كان النبيّ صلّى الله عليه وسلّم يقول في ركوعه وسجوده؛ سبحانك اللهم ربنا وبحمدك، أللهمّ اغفرلي. يتأوّل القرآن؟))
Artinya: Nabi Shallallâhu alaihi Wasallam pernah membaca:
سبحانك اللهم ربنا وبحمدك، أللهمّ اغفرلي
pada ruku dan sujudnya. (Aisyah berkata) : engkau mentakwilkan Al qur’an?
Maksudnya apakah engkau melaksanakan amalan sesuai dengan firman Allah:
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ
Artinya: maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.[4]
Kedua: takwil dengan makna tafsir
Yaitu perkataan yang digunakan untuk menjelaskan sebuah lafaz hingga dapat dipahami maknanya. Inilah yang dimaksud dari perkataan para Mufassirin تأويل قوله تعالى yang sering digunakan oleh para Mufassirin[5]. Bahkan Ibnu Jarir al Thabarî menamai kitabnya:

جامع البيان عن تأويل آي القرآن
Berdasarkan makna yang pertama maka takwil dari apa yang diberitakan oleh Allah tentang sifat dan perbuatanNya adalah sama dengan keadaan yang sebenarnya. Hal tersebut adalah hak Allah subhanahu wataala yang tidak diketahui oleh selainNya dan tidak ada celah bagi kita untuk mengetahuinya dan melingkupinya[6].
Berdasarkan makna yang pertama ini juga maka waqaf jatuh setelah kata berikut: وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ
Sedangkan berdasarkan makna kedua maka takwil tentang apa yang diberitakan Allah mengenai sifat-sifatnya yang tinggi adalah tafsir dan pemahaman makna dari apa yang Ia beritakan tentang dirinya yang memiliki sifat-sifat yang agung dan tinggi. Inipun dikenal dalam bahasa yang Allah gunakan kepada manusia dan kita pahami dengan perantaraan bahasa tersebut, namun dengan pemahaman bahwa Allah tidak sama dengan apapun baik zatNya, SifatNya, maupun perbuatannya.
Berdasarkan makna ini maka waqaf jatuh setelah kata berikut: وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ
Sebagaimana mazhab kebanyakan ulama Salaf.
Ibnu Jarîr berkata: Ahli takwil (tafsir, red) berselisih tentang takwilnya, apakah kata الراسخون menjadi athaf dari lafadz ألله yang berarti mereka dapat mengetahui ayat yang mutasyabih ataukah itu adalah isti’naf (kalimat baru selanjutnya) yang disebutkan untuk memberitakan  mereka (orang-orang yang mendalam ilmunya) yang berkata bahwa mereka beriman kepada ayat-ayat mutasyabih termasuk menyatakan bahwa pengetahuan tentang ayat-ayat tersebut hanyalah dimiliki oleh
Allah.
Sebagian dari mereka mengatakan: maknanya adalah tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah saja dengan pengetahuannya.
Adapun kata الراسخون في العلم adalah kalimat selanjutnya yang menyatakan bahwa mereka beriman kepada ayat-ayat mutasyabih dan Muhkam serta semua itu berasal dari sisi Allah. Kemudian beliau menyebutkan yang berpendapat demikin…. :  Aisyah, ibnu Abbas, urwah, Abi Nahik, dll.
Yang lain berkata:  maknanya adalah tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. dengan memiliki pengetahuan dan kedalaman ilmunya tersebut mereka tetap mengatakan “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Kemudian beliau menyebutkan yang berpendapat demikin…. :  Ibnu Abbas, Mujahid, Rabî’ bin Anas, dan Muhammad bi Ja’far bin Zubair, dll[7]
Inilah takwil yang dimaksud oleh para salaf  dan juga Ibnu Taimiyah ketika dia mengikuti mereka dalam menjelaskan beberapa makna ayat-ayat sifat.
Ibnu Taimiyah berkata:
وأما الذي أقوله الآن واكتبه وإن كنت لم اكتبه – فيما تقدم من أجوبتي وإنما أقوله في كثير من المجالس – إن جميع ما في القرآن من آيات الصفات فليس عن الصحابة اختلاف في تأويلها
وقد طالعت التفاسير المنقولة عن الصحابة وما رووه من الحديث ووقفت من ذلك على ما شاء الله تعالى من الكتب الكبار والصغار اكثر من مائة تفسير فلم أجد – إلى ساعتي هذه – عن أحد من الصحابة انه تأول شيء من آيات الصفات أو أحاديث الصفات بخلاف مقتضاها المفهوم المعروف بل عنهم من تقرير ذلك وتثبيته وبيان أن ذلك من صفات الله ما يخالف كلام المتأولين ما لا يحصيه إلا الله

Adapun yang aku katakan sekarang dan aku tulis sekalipun aku belum pernah menulisnya dalam jawaban-jawabanku  adalah bahwa semua yang ada di qur’an berupa ayat-ayat sifat tidak pernah didapat perselisihan dari sahabat seputar takwilnya.  Sungguh aku telah menelaah berbagai tafsir yang dinukil dan diriwayatkan dari para sahabat dan hadits-hadits. Aku juga telah membaca-Masya Allah- banyak dari kitab-kitab para pembesar dan Sighar lebih dari seratus tafsir, namun sampai saat ini aku belum mendapatkan satupun dari sahabat yang mentakwilkan ayat-ayat atau hadits-hadits sifat dengan tafsiran yang menyelisihi tuntutan-tuntutan makna yang dipahami dan populer. Bahkan yang aku dapat adalah persetujuan, penetapan, dan penjelasan mereka bahwasanya hal tersebut termasuk sifat-sifat Allah yang menyelisihi perkataan tukang-tukang takwil yang tidak terhitung jumlahnya.[8]
Dalam penjelasan ibnu taimiyah jelaslah bagi kita bahwa para sahabat juga melakukan takwil yang bermakna tafsir terhadap ayat-ayat sifat, namun Ibnu Taimiyah juga mengatakan:
Bahkan yang aku dapat adalah persetujuan, penetapan, dan penjelasan mereka bahwasanya hal tersebut termasuk sifat-sifat Allah yang menyelisihi perkataan tukang-tukang takwil yang tidak terhitung jumlahnya.
Point penting dalam bahasan ini adalah bahwa ta’wil dengan makna tafsir justeru memperkuat istbat atau penetapan sifat-sifat Allah. Hal ini terbukti dengan banyaknya penjelasan salaf tentang Sifat-sifat Allah misalnya Allah Ta’ala bersemayam di atas Arsy. Di dalam ayat disebutkan Ar-Rahmaanu ‘alal ‘arsy istawaa. Secara bahasa istiwa’ itu memiliki empat makna yaitu:
1. ‘ala (tinggi)
2. Irtafa’a (terangkat)
3. Sho’uda (naik)
4. Istaqarra (menetap)
Imam Bukhari membuat bab khusus tentang istiwa dengan teks berikut:
باب قوله و كان عرشه على الماء و هورب العرش العظيم قال ابو العالية استوى الى السماء ارتفع فسو هن خلقهن و قال مجاحد استوى على العرش علا على العرش
Ibnu Taimiyah juga mengatakan:
“Sesungguhnya lafadz ta’wil menurut pemahaman orang-orang yang suka bertentangan (yakni Ahlul Kalam), bukanlah ta’wil yang dimaksud dalam At-Tanzil (wahyu yang diturunkan). Bahkan bukan pula yang dikenal oleh para ulama tafsir terdahulu.
Sesungguhnya para ulama tafsir Al-Qur’an terdahulu memahami lafadz ta’wil dengan maksud tafsir. Ta’wil semacam ini dapat diketahui oleh ulama yang mengetahui tafsir Al-Qur’an. Oleh sebab itulah Imam Mujahid, imamnya ahli tafsir dan murid Ibnu Abbas, pernah menanyakan seluruh tafsir Al-Qur’an kepada Ibnu Abbas, dan Ibnu Abbas pun telah menjelaskan tafsir seluruhnya. Ketika beliau (Mujahid) mengatakan : “Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar ahlil-ilmi (Ar-Rasikhum fi Al-’Ilmi) jika memahami tentang ta’wil, maka maksud ta’wil itu adalah tafsir yang telah disebutkan pada ibnu Abbas”.
Adapun lafal ta’wil menurut At-Tanzil (wahyu yang diturunkan), maknanya adalah “hakikat”, yakni sesuatu yang menjadi asal sebuah pembicaraan. Dan itu sama dengan hakikat-hakikat yang telah diberitakan oleh Allah Ta’ala, misalnya ta’wil tentang hari akhir yang telah diberitakan oleh Allah ialah kejadian yang akan terjadi di hari akhir itu sendiri (hakikat kejadiannya). Ta’wil tentang apa yang Dia beritakan mengenai Diri-Nya itu sendiri yang Maha Suci lagi tersifati dengan sifat-sifat Maha Tinggi. Ta’wil (dalam arti hakikat) inilah yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala sendiri.
Oleh karena itulah kaum salaf mengatakan :”Istiwa’ telah dimaklumi (maknanya), sedangkan bagaimana hakikatnya itu majhul (tidak dapat diketahui)”. Untuk itu kaum salaf mengistbatkan (menetapkan) pengetahuan tentang Istiwa’. Inilah yang disebut ta’wil dalam arti tafsir, yaitu memahami makna yang dimaksud oleh suatu pembicaraan, sehingga dapat merenungi, memahami dan mengerti.
Sedangkan perkataan mereka “Al-Kaif (bagaimana hakikatnya) adalah majhul (tidak dapat diketahui). Hal ini adalah ta’wil yang hanya bisa diketahui oleh Allah semata, yaitu tentang hakikat yang tiada satu mahluk pun dapat mengetahuinya”.[9]
Adapun istilah yang digunakan oleh para Mutaakhirin dari kalangan Muatthilah berbeda dengan definisi diatas dimana mereka mengatakan bahwa takwil adalah: Memalingkan[10] lafaz dari  zohirnya dan hakikatnya kepada majaz dan apa yang berbeda dengan zohirnya dengan adanya penyertaan (Qarinah)[11]. Ini adalah istilah yang baru.
Mereka menjadikan Qarinah-qarinah untuk memalingkan makna sifat-sifat Allah dari zohirnya dan hakekatnya berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh akal mereka bukan berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh Atsar dan yang telah disepakati oleh salaf. Mereka menjadikan akal mereka sebagai hakim untuk  sifat-sifat Allah yang merupakan hakikat dan yang bukan hakikat. Bukan berdasarkan dalil-dalil Naqli berupa ayat-ayat, hadits, maupun qaul Salaf.
Inilah jenis takwil yang  telah dikarang oleh Abu Bakr bin Faurak[12] dalam sebuah kitab yang berjudul “ Ta’wîl al Musyki al Qur’ân” dan dibantah oleh Qadhî Abu Ya’la dengan sebuah kitab yang berjudul “ibthâl al ta’wîlât fî akhbâ al Shifât”. Begitu juga Ibnu Qudamah yang telah mencela takwil dengan kitabnya yang berjudul “Zamm al ta’wîl”
Batalnya klaim-klaim takwil oleh salaf terkait ayat-ayat sifat
Yang sering terjadi dalam klaim-klaim orang-orang yang menukil takwil tentang ayat-ayat sifat dari  kaum salaf yang dilakukan oleh  kalangan Asya’irah lalu mereka jadikan pembelaan untuk melakukan pemalingan makna terhadap semua ayat-ayat sifat adalah sebagai berikut:
  1. klaim itu tidak benar karena tidak ada sumbernya atau dhoif sanadnya, atau menyalahi perkataan yang lebih masyhur dari salaf tersebut
  2. tidak sesuai dengan tempatnya, seperti takwilan tersebut bukanlah pada nash-nash yang terkait dengan ayat-ayat sifat atau diperselisihkan sebagai ayat sifat
  3. tidak memahami perbedaan takwil bathil yang berarti pemalingan makna dengan takwil yang bermakna tafsir.
Sebagai contoh yang sering adalah klaim bahwa Mujahid, Al Dhahak, Al Syafii, dan al Bukhârî mentakwil lafadz wajah dalam firman Allah taala : فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
Dengan mengatakan bahwa Mujahid berkata: Qiblatullah dan Imam Syafii mengatakan
تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّه:فثمّ الوجه الذي وجهكم الله إليه

yaitu arah yang ditunjukkan oleh Allah bagi kalianِ.
Jawabannya dari semua itu adalah bahwa ayat ini termasuk yang diperselisihkan oleh salaf  ayat sifat atau bukan. Kebanyakan salaf menganggapnya bukan ayat sifat  maka mereka mentafsirkannya sebagaimana telah disebutkan diatas.
Hal ini karena الوجه   dalam bahasa arab terkadang berarti arah, dan inilah yang populer. Dzohir ayat menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah arah bukan sifat Allah, yang semisal ini bukanlah takwil karena takwil berdasarkan pemahaman mutaakhirin adalah memalingkan ayat dari maksud, penunjukkan, dan arti yang dikenal.
Seluruh penukilan tafsir ayat ini adalah sehubungan dengan pendapat mereka bahwa ayat ini bukanlah ayat sifat. Adapun dalam ayat lain yang merupakan ayat sifat mereka menetapkan bahwa Allah memiliki wajah dalam arti yang hakiki
Al-Qadli Abu Ya’la rahimahullah meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bahwa beliau berkata :
وأن له يدين بقوله (بل يداه مبسوطتان) وأن له يميناً بقوله (والسموات مطويات بيمينه) , وإن له وجهاً بقوله (كل شيء هالك إلا وجهه), وقوله (ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام) وأن له قدماً بقول النبي صلى الله عليه وسلم (حتى يضع الرب عز وجل فيها قدمه) يعني جهنم
“Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan dengan dalil firman-Nya : “Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64).  Dia juga memiliki wajah dengan dalil firman Allah : “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah” (QS. Al-Qashaash : 88) dan juga firman-Nya : “Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dia juga mempunyai kaki dengan dalil sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Hingga Rabb (Allah) ‘azza wa jalla meletakkan kaki-Nya padanya…” (HR. Bukhari dan Muslim) yaitu pada neraka” [13]
Adapun yang diriwayatkan dari Mujahid, al Dhahak, Abu ubaidah, dan Bukhari tentang firman Allah taala : كل شيء هالك إلا وجهه bahwa al Dhahak dan Abu Ubaidah berkata: artinya kecuali Dia, Maka ini bukanlah pemalingan makna sama sekali, karena sesuatu terkadang diungkapkan dengan sebagian kriterianya, maka maksud إلا وجهه adalah zatNya yang disifatkan dengan beberapa sifat diantaranya لوجه dan ini jelas karena tidak sama sekali menafikan sifat Allah Taala. Allah mengungkapkan zatNya dengan menyebutkan salah satu sifatnya yaitu wajah Allah taala.
Adapun riwayat dari Imam Bukhari serta Mujahid mengatakan: kecuali apa yang dilakukan untuk menharapkan wajahnya.
Maka hal ini merupakan tafsir yang sesuai dengan syariat dimana segala sesuatu yang dilakukan memang harus diniatkan untuk Allah Subhanahu wataala.
Namun begitu, hal tersebut tidak dimaksudkan untuk menolak penetapan sifat Allah yang memiliki wajah yang sesuai
dengan keagungan dan kebesaran Allah Subahanahu Wataala. Dalam mentafsirkan firman Allah Subahanahu Wataala:
للذين احسنوا الحسنى والزيادة
Al imam Daruquthni meriwayatkan dalam kitab al ru’yah dari al dhahak ia berkata:
Al ziyadah adalah memandang wajah Allah ajja Wajalla[14]
al Lalikâi juga menyandarkan kepada Mujahid dari jalan ibnu abi Hatim bahwasanya ia berkata : للذين احسنوا الحسنى والزيادة ia berkata: Al Husna adalah Syurga dan Al ziyâdah adalah memandang Rabb.[15]
Imam Bukhari menetapkan Wajah Allah sesuai dengan Kesempurnaan Sifat Allah, tanpa beliau palingkan pada makna lain. Bagaimana kita tahu bahwa beliau menetapkan ‘Wajah’ bagi Allah? Bisa kita simak dalam kitab Shahih beliau sendiri pada bagian yang lain. Beliau menempatkan bab tersendiri dalam penafsiran ayat itu, kemudian menyebutkan riwayat hadits yang menjelaskan kandungan bab  itu sendiri.
Imam al Bukhâri menyatakan dalam kitab Shahihnya:
بَاب قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ}
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ } قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعُوذُ بِوَجْهِكَ فَقَالَ{ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ } فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعُوذُ بِوَجْهِكَ قَالَ { أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا } فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَيْسَرُ
“Bab firman Allah Ta’ala : ‘Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya’
Telah memberitahukan kepada kami Qutaibah bin Sa’id (ia berkata) telah memberitahukan pada kami Hammad bin Zaid dari ‘Amr dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: ketika turun ayat ini : ‘Katakan: Dialah (Allah) Yang mampu untuk mengirim adzab dari atas kalian’, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah : ‘atau dari bawah kaki kalian’, Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah: atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan), Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Ini lebih ringan’
Telah dimaklumi di kalangan para Ulama’ Ahlul hadits bahwa pemilihan riwayat hadits dalam suatu bab merupakan representasi pemahaman Imam  Bukhârî terhadap makna yang ada pada bab tersebut.ini terungkap dalam sebuah kaedah :
فقه البخاري في بابه
Pemahaman Bukhâri terletak pada babnya, yaitu kesimpulan tentang pendapat beliau mengenai suatu masalah biasanya direpresentasikan dalam bab yang beliau buat. Ketika Imam  Bukhârî menyebutkan hadits perkataan/ doa Nabi: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, beliau tidaklah mentakwilkan ucapan Nabi tersebut pada makna-makna lain.. Beliau sekedar menyebutkan riwayat itu saja. Dari sini juga kita bisa melihat bahwa Imam Bukhârî menjadikan hadits tersebut sebagai tafsir dari wajah. Ini menunjukkan bahwa Imam  Bukhârî menetapkan Sifat ‘Wajah’ bagi Allah tanpa mentahrif (memalingkan) pada makna yang lain.
Mungkin masih tersisa pertanyaan: ‘Jika benar Imam Bukhârî memilih pendapat yang kedua dalam menafsirkan ayat itu, bukankah juga berarti beliau menakwilkan ayat tersebut. Kalimat: ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali Wajah Allah’ ditakwilkan sebagai ‘Segala sesuatu akan binasa kecuali yang mengharapkan Wajah Allah’. Benar, itu adalah takwil yang beliau lakukan sebagaimana penakwilan al Tsaurî. Penakwilan tersebut tidaklah batil, karena memang dipahami dari ucapan lafadz Arab.
Al-Imam al Thobâry menyatakan dalam tafsirnya  juz 19 halaman 643 bahwa penafsiran tersebut sesuai dengan perkataan syair:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ ذَنْبًا لَسْتُ مُحْصِيهُ… رَبُّ العِبادِ إلَيْهِ الوَجْهُ والعَمَلُ
“Aku memohon ampun kepada Allah dari dosa yang aku tak mampu menghitungnya…
(Dialah) Rabb hamba-hamba,  kepadaNyalah wajah (kehendak) dan amalan
Lafadz الوجه (wajah) dalam kalimat syair tersebut berarti kehendak dan keinginan. Takwil yang demikian bukanlah takwil yang batil, karena merupakan salah satu penjelasan terhadap makna kalimat yang sesuai dengan konteks bahasa Arab yang biasa dipahami. Selain itu, penakwilan ini tidaklah menafikan penetapan ‘Wajah’ bagi Allah sesuai dengan Keagungan, Kemulyaan, dan Kesempurnaan Allah, yang tidak sama dengan makhlukNya, dan tidak diketahui kaifiyatnya kecuali Allah.
Ibnu taimiyah mengatakan : ta’wil dari salaf jika berasal dari sahabat maka hal itu diterima, karena mereka mendengarnya dari Rasul, Jika berasal dari selain mereka dan pengikut mereka (tabiin) dan dijadikan pedoman oleh para Imam maka kita juga menerimanya. Namun kalau ia menyendiri maka kita berpaling darinya sebagaimana kita berpaling dari takwil kholaf.[16]
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dan praktek-praktek yang dilakukan Ibnu Taimiyah dalam banyak tulisannya maka jelaslah bahwa komentar-komentar beliau terkait sifat Allah hanyalah sebatas tafsiran yang berasal dari para pendahulu kaum muslimin dari kalangan salaf dan sahabat. Kalaupun dia menulis dengan kata takwil maka hal tersebut bermakna tafsir yang sangat berbeda dengan pemahaman Mutaakhirin yang memalingkan makna atau bahkan merubah (tahrif).
Tafsir-tafsir tersebut sama sekali tidak menodai akidah terhadap Sifat Allah berupa penetapan sifat sebagai mana datangnya dan sesuai dengan apa yang Allah sifatkan bagi diriNya tanpa tahrif ta’thil dan tamsil. Beliau banyak menjelaskan hal ini dalam kitab-kitabnya, maka ambillah pelajaran.
Wallahu a’lam Bisshowab
Semoga bermanfaat
Saudaramu: dobdob
Maraji:
  1. Al Asyâirah Fî Mizâni Ahli al Sunnah
  2. Mauqif Ibnu Taimiyah Min Asyâirah
  3. Majmu Fatâwa
  4. al Risâlah al Tadmuriyyah
  5. www.darussalaf.or.id
  6. www.almanhaj.or.id

[1] Mukhtar Sihhâh: unsur-unsur أول
[2] Lisân al arab: unsur-unsur أول
[3] Diawal surat yusuf dijelaskan tentang cerita dimana planet-planet bersujud padanya dan kejadian itu terjadi dimesir ketika beliau menjadi salah seorang pembesar negeri itu. Itulah takwil atau kejadian yang sebenarnya dari mimpi tersebut.
[4] Maksudnya isi bacaan  Rasulullah ketika ruku dan sujud berisi tasbih dan istighfar sesuai dengan ayat dalam surat al Nashr ayat 3 tersebut
[5] Perkataan seperti ini sering sekali ditemukan dalam tafsir-tafsir semisal al Thabarî dan Ibnu katsir serta lain-lain ketika memulai mentafsirkan sebuah ayat Al qur’an
[6] Inilah yang merupakan ranah kaifiat yang kita jahil tentang hal tersebut kecuali yang telah diberitakan oleh Allah, tidak ada jalan lain kecuali menetapkan sesuai dengan dzohirnya, yakni yang sesuai dengan keagungan dan kebesarannya tanpa takyif, tasybih dan tamsil.
[7] Tafsir Ibnu Jarîr ( 3/182-183). Secara jelas juga bahwa waqaf dalam ayat tersebut memiliki dua riwayat yang keduanya boleh digunakan dan kedua pendapat tersebut memiliki Faidah yang melengkapi bukan bertentangan
[8] Majmu’ Fatâwa 6/394
[9] Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, Ibnu Taimiyah, jilid 5/381-383, Tahqiq. Dr Muhammad Rosyad Salim
[10] Seharusnya mereka menyebutnya dengan istilah tashrif (pemalingan) atau tahrif (perubahan) karena kata takwil sejatinya berkonotasi positif dan akrab ditelinga kaum salaf.  Mungkin mereka menggunakan istilah takwil demi untuk dianggap baik lalu mereka menyebutkan sesuatu bukan dengan namanya untuk mengaburkan pendengar.
[11] Yaitu qarinah yang mereka klaim sebagai Tanzih (pensucian), namun sejatinya justeru jurang yang menjerumuskan mereka kepada berbicara tentang Allah yang mereka tidak memiliki ilmu tentang hal tersebut. Mereka mengatakan bahwa istiwa bermakna istawla, karena kalau bermakna istiwa maka sesuai pikiran sempit mereka akan membuat Allah sama dengan makhluknya, padahal dengan memaknakan istawla justeru membuat tandingan-tandingan bagi Allah karena dalam bahara arab istawla hanya digunakan untuk Sesutu yang berkuasa setelah mengalahkan sesuatu. Apakah Allah perlu mengalahkan sesuatu untuk menguasai alam semesta padahal ia menciptakan yang tidak ada menjadi ada? Wal iyadzu billah
[12] Salah seorang pemuka Asy’ariyah yang menjadi penyebar mazhab ini setelah sebelumnya redup
[13] Thabaqat Al-Hanabilah oleh Al-Qaadliy Abu Ya’la Al-Farraa’, 2/269, tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman bin Sulaiman Al-‘Utsaimin; Cet. Tahun. 1419
[14] Al Ru’yah al Dâruqutni 162
[15] Al-lâlikâi 3/454-463
[16] Naqdhut ta’sis (manuskrip/2/20) nukilan dari atsar yang didapat dari para Imam sunnah tentang bab I’tiqad dari kitab siyar a’lami al Nubalâ.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management